Suara Sejati
Cara Tuhan Memanggilku (Bagian Pertama)
Saya lahir di keluarga yang belum percaya Tuhan Yesus. Dari sejak kecil saya sudah dikenalkan agama yang diyakini oleh ayah saya. Sebagai anak yang taat dan menghormati orang tua, saya mengikuti apa yang diinginkan ayah saya, yaitu mengikuti kepercayaan ayah saya. Hal itu bukanlah percaya kepada Tuhan Yesus. Saya sangat rajin beribadah di tempat ibadah dan saya sering mengikuti lomba yang berkaitan dengan agama saya. Saya sering menjadi salah satu peserta terbaik. Namun selama saya menjalaninya, saya tidak pernah mengalami pembaruan dalam kehidupan saya. Saya pergi ke ibadah seakan-akan hanya rutinitas belaka.
Langkah-langkah Indah
Kesaksian ini adalah merupakan sebuah catatan bagaimana seorang anggota Gereja Yesus Sejati berjuang dalam hidupnya, menderita dan melemah secara fisik dan rohani, tapi kemudian kembali menyadari rencana Tuhan, dan pada napas terakhirnya meninggalkan dunia secara bersih, semurni emas. Saya merasa berkewajiban untuk menyampaikan kisahnya ini agar menjadi pemacu semangat bagi kita-kita yang masih tinggal di dunia ini.
Mimpi yang Menakjubkan
Dalam nama Tuhan Yesus, saya bersaksi. Sdri. Tany Kristien (Ango) adalah seorang penjahit. Saya sudah mengenal dia dan keluarganya sejak saya menjadi pelanggannya. Namun, saya tidak tahu kalau ia adalah orang Kristen. Sejak muda, saya beriman pada agama saya, dan saya tidak peduli dengan agama lain. Tapi sejak saya berteman dengan Sdri. Tanty, saya mulai mengalami kejadian-kejadian yang menakjubkan, yang pertama adalah serangkaian mimpi aneh dengan kejadian-kejadian yang sepertinya berhubungan.
Terlindung dari Bahaya Kebakaran
Pada suatu hari Jumat, ruko yang saya tinggali bersama keluarga hampir saja mengalami kebakaran. Penyebabnya, ada kabel PLN yang mengeluarkan percikan api. Kabel yang memercikkan api itu melilit kabel bel rumah saya, menyebabkan bel rumah, yang menggunakan tenaga batere, berbunyi terus-menerus.
Tersesat dalam Idealisme Duniawi
Saya dibaptis ke dalam Gereja Yesus Sejati (TJC) di Queens, New York, pada tanggal 23 Agustus, 2003 ketika saya berumur tujuh belas tahun. Selama tujuh tahun berikutnya, saya hanya dua kali menghadiri Seminar Teologi Pemuda Nasional dan pergi ke kebaktian Sabat secara tidak teratur. Ada banyak alasan penyebab hal ini, beberapa di antaranya, tapi tidak semuanya berada di luar kendali saya.