SAUH BAGI JIWA
“Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus” (Efesus 3:18)
“Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus” (Efesus 3:18)
Terjadi kecelakaan pesawat di Michigan, Amerika Serikat, pada tahun 1987. Kecelakaan ini memakan hampir seluruh penumpang pesawat, kecuali satu anak kecil yang berusia empat tahun. Kisah mengharukan datang dari anak kecil ini. Saat dilakukan evakuasi, regu penyelamat menemukan anak ini masih berada di kursinya, terikat dengan sabuk pengaman. Dengan posisinya yang demikian, para pengamat menyimpulkan bahwa ibunya—yang meninggal di tempat tidak jauh dari posisi si anak—melindungi anaknya di saat kecelakaan terjadi. Alhasil, meskipun anak tersebut mengalami luka berat, ia dapat terselamatkan.
Peristiwa di atas menggambarkan besarnya kasih orangtua kepada anaknya. Penulis Injil Yohanes pun pernah menggambarkan betapa besar kasih Tuhan kepada umat manusia, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Tentang kedalaman kasih Tuhan, rasul Paulus bahkan berdoa agar jemaat di Efesus dapat memahami betapa lebar, panjang, tinggi dan dalam kasih Kristus. Rasul Paulus pun melanjutkan bahwa ia ingin agar jemaat mengenal kasih Tuhan yang demikian (Ef. 3:18-19).
Bagaimana kita dapat mengenal kasih Tuhan yang demikian lebar, panjang, tinggi dan dalam; di dalam kehidupan kita sehari-hari? Di dalam suratnya kepada jemaat Efesus, rasul Paulus sebelumnya menekankan bahwa saat iman kita berakar dan dikuatkan oleh Roh Kudus, kita dapat merasakan sendiri kasih Tuhan yang sungguh tidak berkesudahan.
Kasih Tuhan adalah kasih yang tidak berkesudahan. Dalam Mazmur 103:17, sang pemazmur memuji kebesaran kasih Tuhan, “Tetapi kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilan-Nya bagi anak cucu…”
Di satu sisi, kasih manusia—kasih orangtua kepada anak, kasih suami-istri, kasih antar sahabat—semua bersifat sementara dan akan berkesudahan setelah manusia tersebut meninggal dunia. Di sisi lain, Tuhan justru terus mengasihi umat-Nya secara aktif dari zaman ke zaman—baik sejak zaman Adam dan Hawa, keluarnya bangsa Israel dari Mesir, zaman pembuangan bangsa Israel ke Babel, zaman Perjanjian Baru sampai pada zaman kita sekarang dan generasi selanjutnya yang akan datang. Tuhan dengan setia tetap menyatakan kasih-Nya kepada mereka yang beriman teguh pada-Nya.
Selain itu, lebar dan dalamnya kasih Tuhan bukan berarti Ia tidak akan membiarkan umat pilihan-Nya mengalami kesulitan dan kesukaran. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, rasul Paulus menuliskan bahwa di dalam kasih karunia Tuhan, justru kita dapat bermegah dalam kesengsaraan kita. Sebab kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan (Rm. 5:1-5). Dengan kata lain, dalam kesukaran, kasih Tuhan justru bekerja di dalam membentuk karakter kita—agar iman kita dapat bertumbuh dan dikuatkan serta tahan uji di dalam menghadapi penderitaan.
Sungguh lebar, panjang, tinggi dan dalam kasih Tuhan. Kasih-Nya terus beserta sejak kita masih dalam kandungan bahkan sampai masa tua kita sekalipun, kasih-Nya tidak berkesudahan dan senantiasa membentuk kita menuju pada iman yang tahan uji dan berpengharapan di dalam kesengsaraan.