SAUH BAGI JIWA
“Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kisah Para Rasul 20:35)
“Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kisah Para Rasul 20:35)
Seorang wanita karir berkonsultasi dengan seorang psikiater. Ia mengeluh bahwa hidupnya kosong, tidak bermakna, dan tidak bahagia. Sang psikiater pun memanggil seorang office girl di kantor tersebut dan menyuruhnya menceritakan kisah hidupnya saat ia menemukan sukacita. Office girl tersebut pun berkata, “Dua tahun lalu, suami saya meninggal karena sakit keras dan kami tidak memiliki uang untuk mengobatinya. Dua bulan setelahnya, anak tunggal saya meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Saat itu, saya tidak pernah tersenyum lagi. Saya berpikir tidak ada gunanya saya hidup di dunia. Akan tetapi saat saya pulang bekerja, saya melihat seorang nenek tua sedang mengemis di depan kantor. Karena iba, saya membelikan dia makanan. Nenek tersebut mengucapkan terima kasih tiada henti hingga menangis. Saat itulah saya merasa bersukacita. Untuk pertama kalinya saya bisa tersenyum karena saya merasa berguna bagi orang lain. Sejak saat itu saya sadar, saya bisa bersukacita dengan membagikan sukacita kepada orang lain.”
Dalam konteks saling berbagi berkat jasmani, seringkali perbuatan memberi terasa lebih susah dibandingkan menerima—apalagi di dalam kondisi berkekurangan. Umumnya, menerima justru lebih berbahagia dibandingkan memberi.
Namun, di dalam kitab Kisah Para Rasul 20:35, sang penulis menasehati kita bahwa sesungguhnya memberi lebih berbahagia dibanding menerima. Apakah maksud dari nasehat tersebut?
Di dalam ayat tersebut, ditegaskan bahwa frase “lebih berbahagia memberi daripada menerima” adalah perkataan Tuhan Yesus, dengan tujuan agar kita membantu orang-orang yang lemah. Dalam bahasa aslinya, orang-orang lemah secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi “orang-orang yang membutuhkan secara materi” atau “orang-orang yang berkekurangan.” Selain itu, penggunaan makna yang lebih luas dalam bahasa aslinya juga mencakup “orang-orang yang lemah secara rohani” atau “yang sakit secara rohani.”
Penulis kitab Kisah Para Rasul menginginkan kita untuk terus selalu mengingat perkataan Tuhan Yesus untuk senantiasa melakukan perbuatan memberi—yaitu membantu orang-orang yang berkekurangan secara materi—selama perjalanan hidup kita.
Lalu, untuk orang-orang yang lemah atau sakit secara rohani, hal apakah yang harus kita beri? Rasul Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Roma, pernah menuliskan, “Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya” (Rm. 14:1), yang dalam bahasa asli dapat diterjemahkan secara harfiah, “tanpa memperdebatkan atau mempeributkan perbedaan pendapatnya.” Dengan kata lain, kita menerima dengan kasih, berusaha untuk memahami kelemahannya tanpa harus disertai dengan penghakiman. Bahkan, sebagai saudara-saudari seiman, justru dengan kasih Kristus, kita perlu untuk melengkapi kekurangannya.
Selain itu, bagaimana kita dapat memberi bantuan kepada orang-orang yang sakit rohani? Rasul Paulus pun melanjutkan, “Jangan kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung” dengan menganggap diri jauh lebih benar, menghakimi bahkan menghina mereka (Rm. 14:10, 13). Saat kita sungguh-sungguh menjaga sikap, perilaku serta perbuatan kita dalam kehidupan sehari-hari baik dengan sesama anggota keluarga, teman, rekan sekerja maupun saudara-saudari seiman—agar tidak menjadi batu sandungan bagi mereka—maka sesungguhnya kita sudah memberikan bantuan kepada mereka yang lemah iman. Saat kita mengetahui bahwa sikap perilaku kita sehari-hari justru dapat menjadi teladan bagi orang-orang sekitar kita, sungguh hal tersebut menjadi sukacita tersendiri bagi kita.