SAUH BAGI JIWA
“Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.” (Mat 10:42)
“Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.” (Mat 10:42)
Seorang saudara seiman yang belum lama dibaptis, karena pekerjaan dia meninggalkan kampung halamannya, pergi ke kota yang yang asing baginya. Seperti keyakinannya, tiap hari Sabtu dia pergi ke Gereja Yesus Sejati di kota itu untuk menguduskan hari Sabat. Selesai kebaktian Sabat pagi, pada waktu makan siang jemaat berkumpul di ruang makan untuk bersekutu sambil menyantap makan siang sederhana. Menjadi kebiasaan bagi kebanyakan orang, mereka akan duduk di meja makan tertentu berkumpul dengan orang-orang tertentu di hampir setiap makan siang Sabat, ada kelompok remaja yang ramai dengan suara canda, ada kelompok tengah baya yang serius membahas kejadian-kejadian di luar sana, ada juga kelompok usia lanjut yang lebih banyak bicara tentang kesehatan, tidak lepas para ibu juga berkelompok menceritakan urusan dapur dan urusan anak. Sebagai pendatang yang tidak punya kenalan, saudara ini mencoba duduk di salah satu meja berharap bisa berbaur dengan jemaat lama, namun karena sifat introvert, dia tidak banyak bersuara dan tidak berani menyapa mereka, dia hanya duduk diam-diam saja di sana mendengarkan orang-orang yang semeja dengan dia ramai mengobrol satu sama lain. Lama kelamaan, dia merasa dirinya tersisihkan, merasa tidak ada yang peduli kepadanya, dan merasa keberadaan dirinya di meja itu malah merusak suasana akrab mereka. Hal ini dia alami berkali-kali walaupun sudah mencoba bergabung dengan kelompok-kelompok di meja lain. Tetap saja dia merasa dirinya dikucilkan.
Setelah berlangsung selama kira-kira setengah tahun, saudara ini sudah tidak tahan lagi, maka dia mengubah strategi dalam menghadapi keadaan seperti itu, setiap kali kebaktian Sabat pagi selesai, dia segera meninggalkan gereja kembali ke apartemen kecilnya, di situ dia makan sendirian menghadapi tembok, dan pikirannya sering didera dengan keluhan mengapa jemaat di gereja ini tidak mempunyai kasih, mengapa mereka begitu tega ‘menghukum’ dia yang kecil ini. Sampai suatu hari Sabat, dia memutuskan mau mencoba sekali lagi untuk menggabungkan diri dengan jemaat dalam makan siang bersama, dan bila sampai selesai makan siang, tidak ada yang memperhatikan dia, maka itu akan menjadi makan siang terakhir di gereja ini, dan dia akan ‘komplain’ kepada Tuhan dan tidak lagi mau berkebaktian di gereja ini.
Hari itu, saudara ini duduk di satu meja yang masih kosong, beberapa jemaat yang biasanya duduk di meja itu, melihat dia duduk di situ, lalu pindah ke meja lain, detik demi detik berlalu sebagai siksaan, sampai saatnya doa ucapan syukur sebelum makan, dia masih duduk sendirian. Hatinya sangat sedih bercampur marah, di manakah kasih yang didengang-dengungkan oleh pengkhotbah di atas mimbar? Mengapa semua jemaat bersikap demikian sadis terhadap dia? Seketika sebelum dia memejamkan matanya mengikuti doa syukur, tiba-tiba dua orang saudara yang duduk di meja sebelah, pindah duduk di kiri dan kanan dia. Kejadian ini sangat menyentak dia, selama doa syukur itu, hatinya terharu dan air mata menggenang di pelupuk matanya. Belakangan dia berkata: ‘Setelah kejadian makan siang itu, selama hampir seminggu, setiap kali saya berdoa dalam roh saya selalu mencucurkan air mata. Kasih dua saudara itu mengharukan saya selama seminggu penuh. Mungkin dua saudara ini merasa mereka hanya memberikan dia secangkir air sejuk yang tidak berarti dengan menemani makan, tetapi yang saya rasakan adalah kasih sejati saudara seiman di dalam Tuhan, dan melalui perbuatan mereka saya kembali tahu bahwa Tuhan peduli kepada saya.
Setelah kejadian ini, saudara ini lalu memutuskan dia pun mau memberikan kasih yang sederhana ini kepada setiap orang yang memerlukannya di gereja. Dia mulai berinisiatif memperhatikan dan menemani orang-orang yang seperti dia dahulu, memperhatikan orang yang menyendiri dan orang baru yang mencari kebenaran, juga aktif mengambil peranan dalam berbagai pelayanan di gereja. Rohaninya yang tadinya sudah layu hampir mati kering, sekarang kembali hidup oleh siraman kasih secangkir air sejuk dari dua saudara itu, dan sekarang giliran dia yang memberikan secangkir air sejuk kepada banyak saudara-saudara dan simpatisan lain sehingga mereka merasakan kehangatan kasih Kristus sehingga terbangun iman mereka.
Saudara yang kekasih, Tuhan kita yang pengasih menjanjikan upah bagi setiap orang yang mau memberi air sejuk secangkir saja kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid Tuhan, kita yang kecil dan lemah ini, ternyata dapat memulihkan dan membangun iman rohani jemaat yang hampir padam!