SAUH BAGI JIWA
“Tetapi jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.” (Ayub 2:10)
“Tetapi jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.” (Ayub 2:10)
Arthur Ashe adalah seorang petenis legendaris Amerika berkulit hitam pertama yang memenangkan juara Grand Slam pada US Open tahun 1968, Wimbledon, dan Australian Open. Prestasinya sungguh luar biasa. Dia telah menorehkan 76 gelar juara sepanjang karirnya. Namun, kemudian dia didiagnosa mengidap AIDS. Darahnya terinfeksi virus itu ketika dia melakukan operasi jantung pada tahun 1983.
Selama sakit, ia menerima surat dari para penggemarnya, salah satunya berisi: “Mengapa Tuhan harus memilih Anda untuk penyakit yang begitu buruk?” Arthur menjawab, “Ketika saya memegang piala di tangan saya, saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan: Mengapa saya? Jadi sekarang, ketika saya sakit, bagaimana saya bisa bertanya kepada Tuhan: Mengapa saya?”
Pernyataan Arthur Ashe ini senada dengan pernyataan Ayub mengenai musibah yang menimpa mereka berdua. Mereka rela menerima hal-hal yang buruk terjadi atas diri mereka, sebagaimana ketika hal-hal yang baik mereka peroleh.
Hal ini juga seharusnya berlaku bagi kita. Kita tidak boleh hanya mau menerima yang baik dari Tuhan, tetapi menolak atau mengutuk ketika hal buruk menimpa kita. Kita harus percaya bahwa hal-hal buruk diizinkan Tuhan terjadi atas kita dengan tujuan tertentu, yang mungkin tidak kita mengerti sampai akhir hayat kita. Kita hanyalah ciptaan. Kita harus tunduk pada Pencipta kita. Kita tidak memiliki hak untuk protes.
Namun satu hal yang harus kita yakini, yaitu bahwa Tuhan kita adalah Allah yang baik. Dia tidak mungkin dengan sengaja membuat kita menderita tanpa maksud yang baik. Jika demikian, Dia tidak perlu menderita, turun ke dalam dunia, hidup sebagai manusia, dan mati di kayu salib demi menyelamatkan kita. Walaupun rancangan Tuhan atas kita selalu baik, namun prosesnya tidak selalu demikian. Seringkali Dia membiarkan kita ada dalam kesusahan, dengan maksud untuk menguji dan memurnikan iman kita. Tidak mungkin ada emas murni, jika tidak ada pengujian melalui api. Demikian pula, tidak ada iman sejati tanpa melalui api pengujian. Jika sepanjang hidupnya orang sama sekali tidak pernah mengalami kesusahan sedikit pun, imannya belum teruji. Sama seperti siswa yang harus menempuh ujian untuk naik kelas, iman kita pun demikian. Setiap kali kita berhasil melewati ujian, iman kita pun naik satu tingkat. Proses pengujian ini akan berlangsung terus seumur hidup kita. Maka, jika kita ingin iman kita terus bertumbuh, janganlah mengeluh ketika kita dihadapkan pada berbagai masalah, yang seolah-olah tidak ada habis-habisnya, datang silih-berganti.
Belajarlah seperti Arthur Ashe dan Ayub yang menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidup mereka dengan kerelaan hati. Mereka berdua rela menerima hal baik maupun buruk. Walaupun akhir hidup Arthur kelihatannya tragis, tetapi sesungguhnya dia tidak menyalahkan Tuhan atas penyakitnya, namun menerima pengaturan Tuhan dengan rela. Yang terpenting bukanlah apakah akhir hidup kita bahagia atau sengsara, namun apakah kita dapat mempertahankan iman sampai akhir hidup kita?