SAUH BAGI JIWA
“Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya.”
“Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya.”
Esther Ahn Kim adalah seorang wanita Kristen Korea yang menghabiskan waktu selama enam tahun, yaitu dari tahun 1939 sampai 1945 di dalam penjara, karena mempertahankan imannya. Dia adalah seorang wanita pemberani. Penjara tidak menjadi penghalang baginya untuk memberitakan Injil. Di dalam bukunya yang berjudul, “Kalau Terpaksa Aku Mati”, dia menulis kesaksian tentang bagaimana dia menolak untuk menyembah siapa pun dan apa pun, selain Tuhan. Pada masa penjajahan Jepang di Korea, orang Jepang memaksa semua orang untuk menyembah dewa matahari mereka. Hukuman bagi orang yang menolak untuk melakukannya adalah penjara, penyiksaan, dan bahkan mungkin kematian. Saat itu, Esther tahu apa yang akan dia lakukan. Meskipun banyak orang Kristen lainnya menganggap bahwa menyembah berhala secara lahiriah dapat diterima selama mereka terus menyembah Kristus di dalam hati mereka, Esther tidak dapat melakukan kompromi seperti itu. Dia tidak akan tunduk pada yang lain kecuali satu Tuhan yang benar. Meskipun dengan berbuat demikian, kemungkinan besar dia akan mengalami penyiksaan dan pemenjaraan. Bahkan dia rela jika harus mati sebagai martir, demi Kristus.
Di dalam Alkitab juga ada peristiwa yang serupa. Raja Nebukadnezar membuat sebuah patung emas yang tingginya enam puluh hasta dan dia mewajibkan semua orang untuk sujud menyembah patung tersebut. Barangsiapa yang tidak mau menyembah akan dicampakkan ke dalam perapian yang menyala-nyala. Namun Sadrakh, Mesakh, dan Abednego menolak untuk menyembah patung itu. Ketika raja mempertanyakan tentang hal tersebut, mereka menjawab, “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Dan 3:17-18) Jawaban Sadrakh, Mesakh, Abednego itu membuat raja sangat geram, sehingga dia memerintahkan untuk memanaskan perapian tujuh kali lebih panas dan mencampakkan ketiga orang itu ke dalam perapian tersebut.
Kedua kisah di atas menceritakan tentang bagaimana orang yang percaya menolak untuk mengkompromikan iman mereka, apapun resikonya. Zaman sekarang, tantangan iman seberat ini mungkin saja belum kita alami. Tetapi sebagai umat Kristen, kadangkala kita dihadapkan pada situasi di mana kita mungkin harus memutuskan apakah kita akan bersikap kompromi atau tidak. Misalnya, ketika hari Sabat bertepatan dengan tahun baru. Pada tahun baru biasanya kita memiliki tradisi untuk berkumpul bersama keluarga. Masalah akan timbul jika keluarga kita tidak satu iman. Ketika anggota keluarga melarang atau menganjurkan kita untuk tidak ke gereja pada hari itu, bagaimana reaksi kita? Apakah kita akan menjawab, “Baiklah, jarang-jarang kita bisa berkumpul seperti ini. Saya hanya melewatkan Sabat hari ini, lain kali saya akan pergi.” Atau, “Maaf, saya tidak bisa. Saya harus menguduskan hari Sabat. Lebih baik kita tunda pertemuan sampai besok atau nanti malam.”
Seperti yang dinasihatkan oleh rasul Paulus, kita harus memelihara iman kita agar tetap teguh dan tidak tergoyahkan dalam keadaan apapun. Kita hanya dapat melakukannya jika kita fokus pada pengharapan kekal kita. Sebab hanya orang-orang yang setia kepada Tuhan yang dapat masuk ke dalam kerajaan-Nya.