SAUH BAGI JIWA
“Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegelisahan Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan.”
(Ayub 14:1-2)
“Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegelisahan Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan.”
(Ayub 14:1-2)
Tenggelamnya kapal feri Sewol pada 16 April 2014 menjadi salah satu tragedi tak terlupakan bagi dunia, terutama masyarakat Korea Selatan. Kecelakaan ini dianggap sebagai sebuah luka yang mendalam. Saat itu kapal feri Sewol tengah dalam perjalanan ke Pulau Jeju membawa penumpang dewasa hingga anak-anak. Kapal ini mengangkut hampir 500 orang penumpang, di mana mayoritasnya adalah murid SMA Danwon di kota Ansan. Remaja-remaja ini rencananya akan piknik ke pulau wisata Jeju. Kapal berbobot 6.825 ton ini berlayar meninggalkan pelabuhan Incheon sekitar pukul 9 malam hari sebelumnya. Yang bertugas sebagai kapten kapal adalah Lee Joon-seok, yang memiliki pengalaman berlayar pada rute tersebut. Perjalanan yang direncanakan berlangsung 13 jam itu awalnya berjalan lancar. Namun tanda-tanda petaka mulai muncul di perairan Selat Maenggol yang dikenal punya arus kuat. Sayangnya yang bertugas di anjungan kapal saat itu adalah perwira muda yang belum berpengalaman dan dia memerintahkan kapal berbelok tajam, yang menyebabkan kapal ini menjadi miring dan terbalik. Tragedi kapal Sewol berlangsung dalam waktu singkat. Dalam hitungan tak sampai setengah jam kapal mulai tenggelam. Adapun korban dari tenggelamnya kapal Sewol ini ada 304 orang.
Hidup manusia itu memang singkat. Sekuat-kuatnya manusia, hanya bisa bertahan sampai umur seratus tahunan. Itu pun sangat jarang di zaman sekarang ini. Banyak orang yang masih muda sudah berpulang lebih dahulu. Seperti halnya dalam tragedi tenggelamnya kapal Sewol ini, di mana sebagian besar penumpangnya merupakan siswa sekolah menengah. Siapa yang menyangka bahwa peristiwa naas ini akan menewaskan begitu banyak orang yang juga merupakan generasi penerus bangsa? Ini menunjukkan betapa rapuh dan fananya manusia itu. Kita sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita bahkan untuk menit-menit kemudian.
Oleh karena itu, selama kita masih hidup, kita harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Kita harus siap setiap saat, sebab kita tidak tahu kapan kita akan dipanggil. Mungkin hari ini, mungkin esok, mungkin bulan depan, tahun depan…. kita tidak pernah tahu.
Hidup ini adalah kesempatan. Jika Tuhan masih memberikan nafas hidup kepada kita, maka itu berarti Dia masih memberikan kesempatan kepada kita. Kesempatan untuk apa? Kesempatan untuk memeriksa diri, apa yang masih kurang, tentunya dalam perkara rohani, sebab semua yang bersifat duniawi akan kita tinggalkan. Kesempatan untuk melakukan penyempurnaan rohani, misalnya dengan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, semakin giat beribadah, semakin menguduskan diri, baik dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatan. Kesempatan untuk berbuat baik dan mengasihi sesama. Jika selama ini kita lebih banyak hanya memikirkan diri-sendiri, mulailah dari sekarang untuk lebih memperhatikan sesama, terutama keluarga dan saudara-saudari seiman kita. Banyak saudara-saudari kita yang sedang menderita sakit dan sedang bergumul dengan masalah-masalah mereka. Kita bisa bantu mendoakan mereka. Jika kita mampu, kita bisa juga memberikan nasihat dan penghiburan, serta dana yang bisa kita salurkan melalui diakoni gereja. Sesungguhnya, banyak hal baik yang dapat kita lakukan. Dengan demikian maka hidup kita akan bermakna dan tidak menjadi sia-sia.
Jika kita senantiasa mempergunakan waktu dan kesempatan yang kita miliki selama kita hidup dengan sebaik-baiknya, maka kita akan siap kapan pun Tuhan akan memanggil kita dan kita pun tidak akan menyesalinya.
SAUH BAGI JIWA
“Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegelisahan Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan.”
(Ayub 14:1-2)
“Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegelisahan Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan.”
(Ayub 14:1-2)
Tenggelamnya kapal feri Sewol pada 16 April 2014 menjadi salah satu tragedi tak terlupakan bagi dunia, terutama masyarakat Korea Selatan. Kecelakaan ini dianggap sebagai sebuah luka yang mendalam. Saat itu kapal feri Sewol tengah dalam perjalanan ke Pulau Jeju membawa penumpang dewasa hingga anak-anak. Kapal ini mengangkut hampir 500 orang penumpang, di mana mayoritasnya adalah murid SMA Danwon di kota Ansan. Remaja-remaja ini rencananya akan piknik ke pulau wisata Jeju. Kapal berbobot 6.825 ton ini berlayar meninggalkan pelabuhan Incheon sekitar pukul 9 malam hari sebelumnya. Yang bertugas sebagai kapten kapal adalah Lee Joon-seok, yang memiliki pengalaman berlayar pada rute tersebut. Perjalanan yang direncanakan berlangsung 13 jam itu awalnya berjalan lancar. Namun tanda-tanda petaka mulai muncul di perairan Selat Maenggol yang dikenal punya arus kuat. Sayangnya yang bertugas di anjungan kapal saat itu adalah perwira muda yang belum berpengalaman dan dia memerintahkan kapal berbelok tajam, yang menyebabkan kapal ini menjadi miring dan terbalik. Tragedi kapal Sewol berlangsung dalam waktu singkat. Dalam hitungan tak sampai setengah jam kapal mulai tenggelam. Adapun korban dari tenggelamnya kapal Sewol ini ada 304 orang.
Hidup manusia itu memang singkat. Sekuat-kuatnya manusia, hanya bisa bertahan sampai umur seratus tahunan. Itu pun sangat jarang di zaman sekarang ini. Banyak orang yang masih muda sudah berpulang lebih dahulu. Seperti halnya dalam tragedi tenggelamnya kapal Sewol ini, di mana sebagian besar penumpangnya merupakan siswa sekolah menengah. Siapa yang menyangka bahwa peristiwa naas ini akan menewaskan begitu banyak orang yang juga merupakan generasi penerus bangsa? Ini menunjukkan betapa rapuh dan fananya manusia itu. Kita sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita bahkan untuk menit-menit kemudian.
Oleh karena itu, selama kita masih hidup, kita harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Kita harus siap setiap saat, sebab kita tidak tahu kapan kita akan dipanggil. Mungkin hari ini, mungkin esok, mungkin bulan depan, tahun depan…. kita tidak pernah tahu.
Hidup ini adalah kesempatan. Jika Tuhan masih memberikan nafas hidup kepada kita, maka itu berarti Dia masih memberikan kesempatan kepada kita. Kesempatan untuk apa? Kesempatan untuk memeriksa diri, apa yang masih kurang, tentunya dalam perkara rohani, sebab semua yang bersifat duniawi akan kita tinggalkan. Kesempatan untuk melakukan penyempurnaan rohani, misalnya dengan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, semakin giat beribadah, semakin menguduskan diri, baik dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatan. Kesempatan untuk berbuat baik dan mengasihi sesama. Jika selama ini kita lebih banyak hanya memikirkan diri-sendiri, mulailah dari sekarang untuk lebih memperhatikan sesama, terutama keluarga dan saudara-saudari seiman kita. Banyak saudara-saudari kita yang sedang menderita sakit dan sedang bergumul dengan masalah-masalah mereka. Kita bisa bantu mendoakan mereka. Jika kita mampu, kita bisa juga memberikan nasihat dan penghiburan, serta dana yang bisa kita salurkan melalui diakoni gereja. Sesungguhnya, banyak hal baik yang dapat kita lakukan. Dengan demikian maka hidup kita akan bermakna dan tidak menjadi sia-sia.
Jika kita senantiasa mempergunakan waktu dan kesempatan yang kita miliki selama kita hidup dengan sebaik-baiknya, maka kita akan siap kapan pun Tuhan akan memanggil kita dan kita pun tidak akan menyesalinya.