SAUH BAGI JIWA
[su_icon icon=”icon: calendar” color=”#d19636″ size=”18″ shape_size=”4″ radius=”36″] Renungan Tanggal: 15 Mar 2021
“Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.” (Est. 4:14)
“Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.” (Est. 4:14)
Haman, pembesar kerajaan Persia, berniat memunahkan bangsa Yahudi. Dia menghadap raja, katanya: “Ada suatu bangsa yang hidup tercerai-berai dan terasing di antara bangsa-bangsa di dalam seluruh daerah kerajaan tuanku, dan hukum mereka berlainan dengan hukum segala bangsa, dan hukum raja tidak dilakukan mereka, sehingga tidak patut bagi raja membiarkan mereka leluasa.” Dia lalu mengusulkan agar bangsa itu dibinasakan saja. Ternyata raja menyetujui usulnya, dan memutuskan bahwa satu tahun kemudian bangsa Yahudi di seluruh negerinya akan dihancurkan.
Mordekhai mengetahui tragedi yang akan menimpa bangsanya, dan berpikir bahwa satu-satunya cara menyelamatkan adalah meminta sepupunya yang menjadi permaisuri, Ester, menghadap raja dengan risiko hukuman mati, untuk memohon belas kasihan raja bagi bangsanya. Sekalipun Ester adalah permaisuri, dia juga takut akan peraturan bahwa siapa pun yang sembarangan masuk ke istana menghadap raja bisa dihukum mati. Dia pun ragu-ragu.
Tetapi Mordekhai menyuruh orang menyampaikan pesan kepada Ester: “Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.”. Setelah mendengar pesan itu, Ester memutuskan agar semua orang Yahudi bersama-sama berpuasa dan berdoa. Kemudian dia mau melanggar aturan dengan risiko hukuman mati, menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya.
Ester hanyalah seorang perempuan Yahudi yang menjadi tawanan. Dengan statusnya yang hina ini, bagaimana bisa terpilih menjadi permaisuri raja asing? Bukankah ini adalah pengaturan dari Allah, agar pada saat bangsanya berada dalam bahaya pemunahan, dia dapat memohon kepada raja untuk menyelamatkan bangsanya?
Mordekhai adalah seorang yang mempunyai hikmat rohani. Dia mengetahui rahasia rohani Allah dan kesempatan yang Allah berikan. Begitu pula Ester, mungkin pada awalnya dia kurang beriman kepada Allah, namun dia rela mengorbankan diri. Dia tidak mau sendirian menikmati kehidupan istana sementara bangsanya terancam dimusnahkan.
Hari ini kita hidup di zaman demokrasi. Walaupun kita bukan keturunan raja atau pejabat tinggi, kita tidak perlu kuatir akan kepunahan bangsa. Di gereja kita pun hanyalah hamba Allah yang tidak berguna, tetapi Allah memberi kita kesempatan melayani. Maka kita perlu setia melakukannya dan bertanggung jawab sampai titik kesudahannya. Janganlah kita hanya mengingini status, kedudukannya, dan kemuliaannya saja, tetapi tidak mau bekerja dengan penuh tanggung jawab. Siapa tahu, Allah menempatkan kita pada suatu posisi apa pun, justru agar kita menyelesaikan suatu pekerjaan kudus tertentu. Mana boleh kita mengecewakan Tuhan?
Paulus mengatakan: “Adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.” (Gal. 1:10) Kita bekerja untuk Tuhan demi mencari kesukaan Allah dan berkenan kepada-Nya, bukan untuk menyukakan manusia. Bila kita waspada dan selalu berusaha berkenan kepada Allah, kita tidak akan hanyut dan jatuh ke dalam pencobaan mencari pujian dan kemuliaan palsu dunia.