SAUH BAGI JIWA
[su_icon icon=”icon: calendar” color=”#d19636″ size=”18″ shape_size=”4″ radius=”36″] Renungan Tanggal: 14 Mar 2021
“Ia sedang mengajar murid-murid-Nya. Ia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” Mereka tidak mengerti perkataan itu, namun segan menanyakannya kepada-Nya.” (Mrk. 9:31-32)
“Ia sedang mengajar murid-murid-Nya. Ia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” Mereka tidak mengerti perkataan itu, namun segan menanyakannya kepada-Nya.” (Mrk. 9:31-32)
Orang di zaman sekarang ini gemar berada di dunia maya, bermain media sosial dan permainan elektronik. Di dunia virtual ini, mereka penuh dengan perasaan. Tetapi sebaliknya di dunia nyata dalam kehidupan seperti alam, lingkungan, keluarga, dalam kasih, keadilan, kebaikan dan sebagainya, mereka justru tidak berperasaan. Hal ini sangat menguatirkan dan menakutkan.
Hal ini bukanlah barang baru atau hanya terjadi di masa sekarang saja. Dua ribu tahun yang lalu, murid-murid Yesus mendengar-Nya tiga kali mengatakan bahwa Ia akan mengalami penderitaan dan mati, tetapi mereka tidak merasakan apa-apa.
Waktu pertama kali Yesus mengatakan Ia akan menderita dan mati, hanya Petrus yang bereaksi. Dia segera menganjurkan Yesus untuk tidak melakukannya. Petrus lalu ditegur oleh Tuhan karena tidak memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia. Tetapi Allah tahu dia mengasihi Tuhan. Allah tahu dia tidak mau kehilangan Tuhan, sehingga meminta Tuhan jangan pergi untuk mati. Dibandingkan dengan murid-murid lain yang sama sekali tidak tergerak, Petrus boleh dikatakan jauh lebih berperasaan.
Waktu Tuhan Yesus kedua kali memberitakan tentang kematian-Nya, murid-murid sedang berada di jalan menuju Kapernaum. Waktu itu murid-murid sama sekali tidak ada reaksi atas pemberitaan Tuhan. Sebaliknya mereka bertengkar siapa yang terbesar di antara mereka. Allah pengasih tidak menegur mereka, hanya berdiam menerima ketidak-berperasaan mereka, dan mengajar mereka menyangkut apa yang dipertengkarkan: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk. 9:35)
Sewaktu Yesus ketiga kali memberitakan kematian-Nya, Yakobus dan Yohanes tanpa perasaan bertanya kepada Tuhan tentang perkara yang sama sekali tidak ada hubungannya, yaitu memohon agar mereka boleh duduk dalam kemuliaan Tuhan kelak, yang seorang di sebelah kanan dan yang seorang di sebelah kiri Tuhan. Kesepuluh murid yang lain menjadi marah mendengarnya. Dan sekali ini pun Tuhan mengajarkan mereka kebenaran “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.” (Mrk. 10:43-44)
Sulit membayangkan murid-murid Yesus sama sekali tidak merasakan apa-apa terhadap tiga kali pemberitaan kematian Tuhan. ‘Tuhan akan menderita kematian’. Bukankah ini berita besar yang menggemparkan? Tuhan Juruselamat sudah melakukan berapa banyak mujizat, apakah hal yang menyusahkan Dia sehingga harus mati? Mengapa Tuhan tidak menghindar saja? Apakah Tuhan harus mati? Atas pemberitaan Tuhan, bukankah semestinya ada reaksi keras dari murid-murid? Mengapa mereka justru demikian tidak berperasaan?
Saya sering bertanya kepada diri sendiri, bila saya ikut hadir di ketiga kejadian itu, apakah saya juga akan tidak berperasaan terhadap pemberitaan tentang kematian Tuhan itu? Bagaimana dengan Anda? Kalau kita sama-sama merasa kita tidak akan seperti murid-murid yang tidak berperasaan itu, mengapa hari ini kita justru tidak berperasaan terhadap pengajaran-pengajaran Allah, sama seperti dahulu murid-murid tidak berperasaan terhadap pemberitaan tentang kematian Tuhan?