SAUH BAGI JIWA
“Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia” (Mazmur 103:13)
“Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia” (Mazmur 103:13)
Absalom telah memberontak melawan ayahnya sendiri, Daud. Asal mula pemberontakan ini adalah karena Daud menentang perbuatan Absalom yang telah membunuh Amnon terkait pemerkosaan Tamar, adiknya. Akibatnya, Absalom diasingkan selama tiga tahun. Walaupun kemudian Daud menerima Absalom kembali, Absalom telah memendam kebencian pada ayahnya sendiri sehingga ia mengadakan kesepakatan gelap untuk melawan Daud.
Walaupun Absalom memimpin pemberontakan untuk melawannya, sebagai seorang ayah, Daud tetap sangat mengasihinya. Hal ini tampak jelas dari responnya ketika ia mendengar kabar tentang kematian Absalom (2 Sam 18:33). Daud merasa sangat sedih mendengar Absalom telah mati, sehingga ia rela mati untuk menggantikan Absalom.
Itulah wujud kasih seorang bapa terhadap anaknya. Kasih yang serupa juga dapat kita lihat dalam perumpamaan tentang anak yang hilang. Walaupun anak bungsu telah meminta bagiannya lebih dulu dan kemudian memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya, namun ayahnya tetap mengasihinya. Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia (Luk 15:20). Bahkan ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya. Ini menunjukkan bahwa ayahnya selalu memperhatikan dan menantikan kepulangannya.
Melalui dua kisah di atas, kita dapat melihat kasih seorang bapa terhadap anaknya. Seburuk-buruknya anak, di mata sang ayah, ia tetap adalah anaknya. Dibandingkan dengan membenci, mencampakkan bahkan tidak lagi mengakuinya sebagai anak, kemurahan hati seorang ayah dapat terlihat ketika ia mengkhawatirkan, memikirkan, rela mengampuni dan mengasihinya saat sang anak kembali kepadanya.
Demikian juga kasih Allah terhadap kita, anak-anak-Nya. Semua manusia telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, sehingga sesungguhnya tidak seorang pun dapat selamat. Namun oleh kasih-Nya, Allah telah mengutus Putra Tunggal-Nya untuk mati menebus dosa-dosa kita, sehingga kita memiliki pengharapan hidup kekal. Tapi, meskipun telah memperoleh anugerah keselamatan, manusia sering jatuh ke dalam pencobaan dan berbuat dosa lagi. Namun, Allah tetap sabar, mau mengampuni dan memberikan kita kesempatan lagi (2 Ptr 3:9b).
Allah telah begitu mengasihi kita dan mau menerima kelemahan kita, maka bagaimana respons kita sebagai anak-anak-Nya? Janganlah kita meniru Absalom, yang bukan saja tidak mau mengakui kesalahannya, tapi malah melakukan perlawanan dan mengeraskan hati. Padahal Daud telah memberikannya kesempatan dengan memanggilnya pulang setelah tiga tahun pengasingan. Akibatnya, ia mati secara mengenaskan.
Sebaliknya, teladanilah anak bungsu. Walaupun ia telah melakukan hal yang tidak baik, tapi ia menyesal, mau mengakui kesalahan dan kembali kepada bapanya. Sehingga pada akhirnya, ia memperoleh kembali statusnya sebagai anak dan dapat tinggal bersama dengan bapanya lagi.
Jadi, jika kita ingin dikasihi oleh Allah, maka kita harus hidup takut akan Dia. Melakukan segala perintah-Nya. Ketika kita berbuat dosa, datanglah kepada-Nya. Akui semua dosa, sesali, kemudian bertobat dan bertekad untuk hidup benar di hadapan Allah. Itulah yang harus kita lakukan agar kasih Allah tetap menyertai kehidupan kita.