SAUH BAGI JIWA
“Oleh sebab itu kita ini menyebut berbahagia orang-orang yang gegabah: bukan saja mujur orang-orang yang berbuat fasik itu, tetapi dengan mencobai Allah pun, mereka luput juga” (Maleakhi 3:15)
“Oleh sebab itu kita ini menyebut berbahagia orang-orang yang gegabah: bukan saja mujur orang-orang yang berbuat fasik itu, tetapi dengan mencobai Allah pun, mereka luput juga” (Maleakhi 3:15)
Mujur atau tidak mujur sebenarnya tergantung dari sudut pandang. Seseorang yang terlambat sehingga ketinggalan pesawat terbang yang akan ditumpanginya, merasa mujur ketika tahu bahwa ternyata pesawat tersebut mengalami kecelakaan. Sebaliknya, seseorang yang baru mendapatkan hadiah mobil mewah, merasa tidak mujur ketika ia tahu bahwa pajak kendaraan yang harus ia bayarkan setiap tahunnya begitu mahal.
Nabi Maleakhi di dalam kitabnya, menasihatkan pembaca bahwa kadangkala kita merasa bahwa orang-orang gegabah, atau dalam bahasa Ibraninya adalah orang yang tidak takut dan tidak percaya Tuhan, itu mujur hidupnya–sebab mereka melakukan hal yang tidak berkenan di hadapan Tuhan, mereka masih tetap luput dan menjalankan kehidupannya seperti biasa.
Namun, benarkah orang fasik itu mujur? Tergantung dari sudut pandang. Dari sudut pandang manusia, kita hanya sebatas melihat apa yang dapat dipandang mata. Sedangkan dari sudut pandang Tuhan, Allah melihat bukan hanya dari kehidupan saat ini melainkan juga dari kehidupan setelah kematian.
Kehidupan orang fasik tampaknya berbanding terbalik dengan kehidupan orang benar. Seringkali orang benar itu justru hidup susah dan banyak mengalami pencobaan.
Asaf, salah satu penulis Kitab Mazmur, berkata bahwa sepanjang hari ia kena tulah dan kena hukum, padahal ia telah berusaha untuk mempertahankan hati yang bersih dan tidak berbuat kesalahan. Asaf merasa cemburu melihat kemujuran orang fasik. mereka tidak sakit, mereka sehat dan bahkan mempunyai tubuh yang gemuk. Mereka juga tidak mengalami kesusahan seperti orang lain.
Oleh karena itu, tidak heran jika Ayub pun juga mempertanyakan tentang hal itu. Ayub mengatakan bahwa orang fasik menghabiskan hari-hari mereka dalam kemujuran dan ketika mati pun dalam keadaan tenang. Padahal mereka tidak mau percaya kepada Allah dan bahkan menolak-Nya.
Jika demikian halnya, untuk apa kita menjadi orang benar? Bukankah lebih nikmat menjadi orang fasik? Dalam mazmurnya, Asaf kembali menegaskan; meskipun ia merasa cemburu, ia justru bersusah hati saat ia mengetahui kesudahan orang fasik, “Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur. Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan! Seperti mimpi pada waktu terbangun, ya Tuhan, pada waktu terjaga, rupa mereka Kaupandang hina” (Mzm 73:18-20). Dengan kemurahan-Nya, Tuhan memperlihatkan akhir yang mengenaskan dari orang yang tidak takut akan Tuhan.
Bagaimana Tuhan memandang kesudahan orang fasik? Penulis Kitab Amsal menjelaskan, “Sungguh, orang jahat tidak akan luput dari hukuman, tetapi keturunan orang benar akan diselamatkan.” Lalu, bagaimanakah kesudahan umat Tuhan di hadapan-Nya? Nabi Maleakhi menuliskan, “Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri, firman TUHAN semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya yang melayani dia.”
Dengan demikian, kecemburuan terhadap kemujuran orang fasik sesungguhnya tidak memiliki dasar. Sebagai orang yang percaya akan kuasa Tuhan, kita tahu bahwa kesudahan hidup seseorang akan Tuhan perhitungkan sesuai dengan bagaimana ia menjalani hidupnya di hadapan-Nya. Sebaliknya, atas kebijaksanaan yang telah Tuhan berikan perihal penghakiman terhadap hidup setelah kematian, bukan berarti kita berhak menghakimi ataupun memandang rendah orang fasik. Justru sebaliknya, kita harus lebih bergiat di dalam membimbing mereka kepada pertobatan agar kelak mereka terhindar dari hukuman abadi.