SAUH BAGI JIWA
“Tetapi Elia berkata kepadanya: ‘Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu’ ” ()
“Tetapi Elia berkata kepadanya: ‘Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu’ ” ()
Penulis kitab
Sang janda Sarfat jelas dalam kondisi berkekurangan, bahkan secara berterus-terang ia berkata bahwa segenggam tepung yang ia miliki sekarang hanya cukup bagi dirinya dan anaknya—setelah itu, mereka tidak lagi memiliki makanan. Namun, Elia menegaskan agar ia membuatkan roti bundar kecil baginya terlebih dahulu, baru kemudian untuk diri mereka (1Raj 17:10-13).
Jika kita berada di posisi sang janda, apakah yang akan kita pikirkan? Mungkin kita akan bergumam, “Aku dan anakku akan mati kelaparan setelah makanan ini habis, dan orang ini masih bersikeras memintaku untuk membuat roti bundar kecil untuknya?”
Pada hari ini, saat berada dalam kondisi berlimpah, tentunya dengan mudah kita dapat saling berbagi dengan orang lain. Namun, di saat sedang berkekurangan, sulit rasanya untuk membagikan apa yang kita miliki kepada orang lain.
Mungkin kita akan berkata, “Jangankan waktu untuk Tuhan dan pelayanan, waktu untuk diri kita sendiri saja tidak ada,” demikian alasan yang mungkin pernah kita utarakan di saat kita menolak sewaktu gereja sedang membutuhkan bantuan tugas pelayanan tertentu, atau di saat saudara-saudari seiman sedang membutuhkan pertolongan dengan segera.
Seperti janda sarfat, kita pun merasa kuatir untuk memberikan “waktu” untuk Tuhan ataupun sesama ketika kita sendiri merasa sangat berkekurangan di dalamnya.
Namun, dalam jawabannya, Elia berkata kepada si janda Sarfat, “Janganlah takut.” Seperti halnya si janda, kita pun merasa takut dan kuatir, bagaimana mungkin hal yang sedikit itu cukup untuk banyak hal? Mustahil rasanya, tetapi mukjizat terjadi: tepung beserta minyak sungguh tak berkurang.
Janda Sarfat dengan iman, percaya akan penyertaan Tuhan. Rasa takut dan kuatir itu ia hadapi bukan hanya dengan iman, melainkan juga dengan perbuatan “pulang” dan “buatlah.” Ia menjalani imannya dengan menghadapi pergumulan yang ia kuatirkan, yaitu: membuatkan Elia roti bundar dari jatah tepung terakhir miliknya–jatah yang seharusnya untuk keberlangsungan hidupnya dan hidup anaknya.
Hari ini, dengan berbagai kesibukan dalam keseharian kita, rasa takut dan kuatir timbul saat kita berada di persimpangan apakah kita akan memberikan jatah waktu–yang seharusnya untuk diri kita pribadi itu–untuk pelayanan-Nya dan menolong sesama saudara-saudari seiman?
Maukah kita beriman bahwa kuasa mukjizat Tuhan sungguh nyata? Saat hikmat penyertaan Tuhan beserta, di waktu-waktu yang sibuk dan penuh tekanan sekalipun, Ia mampu untuk memberikan kita hikmat dan kelancaran di dalam menghadapi tantangan yang ada, sehingga semua pekerjaan atau kendala dapat kita lalui dengan lancar. Sungguh ajaib!
Sebaliknya, sekalipun kita mengambil seluruh jatah waktu yang ada untuk diri kita sendiri–jika hikmat pimpinan Tuhan tidak beserta–satu hari penuh pun juga akan terasa tidak cukup, meskipun kita sudah mengambilnya untuk kepentingan diri kita sendiri.
Bukan berarti kita memberikan waktu-waktu yang ada tanpa pertimbangan atau semena-mena; melainkan dengan iman dan hati nurani, kita mau untuk lebih peka terhadap kebutuhan sesama maupun hal-hal yang dibutuhkan oleh gereja. Janganlah takut, percayalah, Tuhan tidak akan membiarkan kita berkekurangan–dalam hal waktu sekalipun. Buatlah terlebih dahulu sepotong roti bundar kecil untuk-Nya.