SAUH BAGI JIWA
“Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: ‘Tambahkanlah iman kami!’ ” (Lukas 17:5)
“Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: ‘Tambahkanlah iman kami!’ ” (Lukas 17:5)
Menjadi seorang guru agama di gereja ternyata memberikan saya suatu pengajaran penting dalam hal pertumbuhan kerohanian seseorang. Meskipun secara rutin anak-anak diberi pendidikan dalam iman kerohanian, sebelum mereka diharapkan dapat ikut serta bersama-sama melayani, ternyata pertumbuhan iman setiap anak berbeda-beda.
Perasaan cinta kasih tidak dapat dipaksakan dan tentunya Tuhan juga tidak akan memaksa kita untuk mengasihi-Nya. Iman kita hanya akan menjadi nyata ketika kita mencari-Nya atas dasar inisiatif kita sendiri.
Dalam Injil Markus, penulis menceritakan bagaimana seorang perempuan yang mengalami pendarahan kemudian ia menyentuh jubah Yesus dan seketika itu juga penyakitnya sembuh (Mrk 5:25-29). Namun, dapatkah kita simpulkan bahwa setiap orang yang menyentuh jubah Yesus pasti akan disembuhkan dengan cara yang sama?
Penulis Injil Markus menegaskan bahwa ada banyak orang yang berdesak-desakan dekat Yesus, sehingga pasti ada yang tidak sengaja menyentuh jubah-Nya. Akan tetapi, Yesus tahu persis bahwa di antara begitu banyak orang, ada seseorang yang telah menjamah jubah-Nya dengan iman sebab Ia merasa bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya (Mrk 5:30-31).
Dengan kata lain, setiap orang membangun imannya dengan cara yang berbeda. Tiap orang memiliki karakter, pengalaman serta hubungan dengan Yesus yang beragam dan unik.
Membangun hubungan bersama Tuhan ibarat hubungan kita dengan teman baik. Dalam persahabatan, kedekatan hubungan antar teman kadang dapat diekspresikan melalui hasil lukisan yang digambar, surat yang dituliskan atau lagu yang kita nyanyikan untuknya. Demikian pula, tiap-tiap orang memiliki kedekatan hubungan yang berbeda dengan Tuhan.
Namun, tampaknya kita cenderung memelihara lingkungan yang menganggap bahwa pertumbuhan iman dan hubungan semua orang dengan Tuhan haruslah serupa dan homogen.
Hanya karena perempuan yang mengalami pendarahan menyentuh jubah Yesus, bukan berarti kita harus melakukan hal serupa dengannya.
Bagi Yakub, ia bergumul dengan Tuhan melalui cara yang berbeda-beda sebelum ia sungguh-sungguh belajar apa artinya memiliki iman yang bertumbuh.
Bagi Paulus, ia harus kehilangan penglihatannya sementara setelah Tuhan membutakannya untuk benar-benar memahami siapakah itu Yesus yang ia aniaya; padahal ia adalah seorang yang sangat keras kepala sejak awal.
Hanya karena seseorang sudah percaya dan memberi diri untuk dibaptis, maka kita menganggapnya sudah mampu untuk bertumbuh sendiri tanpa perlu pendamping. Padahal ia masih butuh bimbingan untuk dapat menerima makanan keras.
Hanya karena seseorang sudah begitu aktif dan bergiat melayani, maka kita menganggapnya sudah mandiri dan kuat—tidak akan menjadi lemah ataupun jatuh. Padahal, jika ia lengah dan tidak bersekutu, ia pun dapat berubah setia bahkan menjadi murtad.
Tiap-tiap orang membutuhkan waktu untuk bertumbuh yang berbeda-beda. Seseorang yang bertumbuh lebih lambat, jika kita paksakan dirinya untuk “berjalan” lebih cepat sedikit agar dapat seirama dengan saudara-saudari yang lain yang sudah mandiri, kemungkinan besar ia dapat jatuh terjerembab.
Sebaliknya, seseorang yang terlihat bertumbuh dengan pesat akhirnya mendorong kita untuk memberikannya lebih banyak tugas tanggung jawab. Padahal, mungkin saja pertumbuhan akar imannya belum kuat sampai ke dalam, ditambah lagi dengan beratnya beban pelayanan yang dapat membuat hatinya menjadi tawar.
Kiranya hikmat Tuhan beserta agar kita dapat membimbing pertumbuhan iman sesama kita sesuai dengan waktu, kemampuan dan kedekatan hubungan tiap-tiap orang terhadap Tuhan. Dengan demikian, di saat waktunya tiba, maka tiap-tiap orang dapat melayani-Nya sesuai dengan pertumbuhan imannya masing-masing.