SAUH BAGI JIWA
“Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya” (Efesus 5:33)
“Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya” (Efesus 5:33)
Faktor lain yang menyebabkan angka perceraian yang tinggi adalah banyak orang yang masuk ke dalam suatu pernikahan dengan harapan yang tidak realistis. Ketika dua orang berpikir untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama-sama, mereka mungkin berkhayal tentang menyiapkan makanan bersama-sama atau berjalan-jalan menyusuri pantai.
Tetapi segera setelah bulan madu berakhir, mereka menemukan bahwa pernikahan bukanlah hanya tentang berbagi tempat tidur atau uang sewa. Ada keuangan yang harus diseimbangkan, anak-anak yang harus dibesarkan, dan pertengkaran yang terus-menerus timbul.
Ditambah lagi, apa yang dulu merupakan masalah yang tidak penting sekarang menjadi perkara yang sangat besar. Ada pertengkaran mengenai tempat duduk toilet atau rambut di lantai kamar mandi.
Tiba-tiba, mengusahakan agar pernikahan berjalan lancar tidaklah sesederhana yang mula-mula dibayangkan oleh pasangan itu. Karena banyak pasangan yang tidak siap untuk mengurus ‘masalah’ mereka, seringkali salah satu atau kedua-duanya memilih untuk mengabaikan saja hubungan mereka.
Kenyataannya adalah, pernikahan membutuhkan banyak usaha dan setiap pasangan pasti menghadapi masalah. Apakah ini berarti bahwa kita tidak boleh menikah sebelum menerima gelar tertentu dalam bidang pernikahan dan sudah dipersiapkan untuk menghadapi masalah apa pun yang mungkin muncul? Tentu saja tidak – ini tidak mungkin dan juga tidak praktis.
Tidak ada cara bagi kita untuk dapat mengantisipasi segala hal yang mungkin tidak berjalan dengan baik dalam suatu pernikahan. Sebaliknya, jawabannya terletak pada bersedia atau tidaknya, serta siap atau tidaknya dua orang dalam membuat komitmen seumur hidup untuk tinggal bersama, tak peduli ada hal-hal yang mungkin tidak diketahui.
Tentu saja, tidak akan menyakitkan kalau kita sebelumnya sudah membicarakan masalah-masalah yang penting. Dulu waktu saya kencan dengan suami saya, kami menghabiskan beberapa acara-keluar-bersama pertama kami untuk membicarakan hal-hal yang penting bagi kami. Karena kami masing-masing pernah terlibat dalam hubungan yang gagal sebelumnya, kami berdua sadar bahwa ada beberapa perkara yang sangat berharga bagi kami dan kami ingin membuat persoalan tersebut jelas sebelum terlalu jauh terlibat secara emosional.
Kami bukannya datang ke meja perundingan dan mencoret daftar perkara, melainkan, melalui diskusi biasa, kami membahas kebutuhan-kebutuhan dan rencana masa depan kami. Walaupun masih ada hal-hal yang tidak kami sepakati, kami telah belajar bahwa komunikasi benar-benar adalah kunci untuk membuat hubungan langgeng.
Dengan berbicara tentang apa saja, kami jadi merasa “nyambung” dan memiliki kedekatan yang tidak dapat dirasakan dengan orang lain. Hal ini juga membuat masalah-masalah jadi sedikit lebih teratasi.
Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya komunikasi biasanya menyebabkan gangguan dalam keakraban fisik dan emosi, padahal kedua-duanya sangat penting bagi suatu pernikahan yang sedang bertumbuh. Tidaklah mudah membuat komitmen seumur-hidup terhadap orang lain, tetapi hal itu tidak perlu membuat kita kewalahan, asalkan kita memiliki harapan yang sehat dan realistis.
Pernikahan adalah proses belajar dan membutuhkan usaha. Tidak ada orang yang dilahirkan dengan keahlian dalam bidang pernikahan atau tiba-tiba siap untuk menikah begitu berada di usia emas. Agar pernikahan dapat langgeng, kita perlu tetap bertahan untuk menuai hasilnya.
Sebagian dari keindahan pernikahan adalah mampu bertahan dalam badai. Ketika kita dapat bertahan dalam badai, kita akan mendapati hubungan kita lebih kuat dan lebih baik lagi daripada sebelumnya. Kiranya kasih karunia Tuhan Yesus senantiasa membimbing kita dalam membangun bahtera kehidupan berkeluarga. Amin.