SAUH BAGI JIWA
“…Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu” (1 Yohanes 2:15)
“…Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu” (1 Yohanes 2:15)
Kehidupan kita yang makmur menyebabkan diri kita terbuka terhadap perubahan-perubahan yang dibawa oleh media sosial dan dunia hiburan populer. Pengaruh yang merusak ini sudah menjerat anak-anak maupun orang dewasa.
Seiring dengan semakin tidak bermoralnya tontonan-tontonan dalam media sosial, kita pun menjadi kurang sensitif terhadap unsur-unsurnya yang merusak. Contohnya, tontonan drama yang sering mengisahkan perselingkuhan dalam pernikahan dan pergaulan bebas, sudah menjadi bagian dari hiburan yang kita nikmati di waktu senggang kita setiap hari.
Sebagai hasilnya, penilaian dan pertimbangan moral kita pun kehilangan fokus. Bukannya memperkecil kesempatan untuk menyimpang lebih jauh lagi dari Tuhan, kita malah menggunakan kemakmuran kita untuk membeli lebih banyak lagi, sehingga gadget smartphone menjadi benda berharga yang bukan hanya kita gunakan di ruang makan atau ruang keluarga, tapi juga di kamar tidur kita.
Untuk membuat situasi semakin buruk, kita merasa terdorong untuk berlangganan channel TV digital. Dengan alasan untuk mengendorkan urat syaraf, kita mengasyikkan diri dengan kebiasaan menonton film yang tiada habisnya, yang tidak mempertontonkan apa-apa kecuali perbuatan yang muncul dari pikiran bejat, kekerasan di jalanan, kekejaman dan keamoralan masyarakat zaman sekarang.
Terpaan tingkah laku yang tidak dapat dikendalikan ini berdampak langsung terhadap cara berpikir anggota muda keluarga kita. Tapi para orangtua tetap saja menyediakan segala permintaan anak-anak mereka seperti halnya video game yang dipenuhi dengan unsur-unsur kekerasan.
Menghabiskan waktu berjam-jam dalam permainan game online sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari anak-anak muda sekarang. Karena sudah terpapar oleh sampah visual ini sepanjang hidup mereka, mereka tidak tampak berbeda dari orang-orang yang tidak percaya.
Kita sudah kehilangan kepekaan arah moral dan pegangan rohani kita. Ketika datang beribadah kepada Tuhan, kita merasa bahwa firman-Nya sangat monoton dan sulit dicerna. Kemurahan-Nya menjadi hanya tampak samar-samar bagi kita, dan seperti orang Israel, kita menemukan bahwa bersungut-sungut dan mengeluh terhadap Tuhan adalah satu-satunya pilihan yang ada dalam hidup ini. Kebebasan dalam beribadah seperti ini berujung pada runtuhnya iman kita.
Masalah-masalah yang kita hadapi ini lebih diperparah lagi oleh masuknya pandangan duniawi ke dalam kehidupan keluarga dan gereja. Dengan menghilangnya nilai-nilai kekristenan dan waktu untuk Tuhan dari rumah-rumah kita, maka pengaruh dari kehidupan tanpa moral dan individualisme akan lebih kuat mempengaruhi kepribadian kita.
Ketika perubahan ini terjadi, kita cenderung untuk menggeser fokus kita, menjauh dari Tuhan dan gereja-Nya, ke arah teman-teman tak seiman kita dan tingkah laku mereka. Karena tidak punya cukup pedoman moral dan kasih sejati kepada Tuhan, kita menemui kesulitan untuk memahami kepercayaan kita sendiri.
Lebih jauh lagi, iman kita dikompromikan dengan keyakinan masyarakat luas bahwa setiap cara hidup itu sah-sah saja dan dapat diterima asalkan semua orang senang, dan bahwa tak seorang pun berhak memberikan penilaian terhadap orang lain. Sikap ini sangatlah melemahkan pertahanan kita terhadap dosa bukannya menjadikan Tuhan sebagai standar mutlak moral kita, kita malah mengambil contoh dari dunia.
Hasilnya, banyak umat percaya yang terjatuh kembali ke dalam kebiasaan lama mereka untuk tindakan-tindakan amoral. Karena itu bagi mereka adalah lebih baik, jika mereka tidak pernah mengenal Jalan Kebenaran daripada mengenalnya, tetapi kemudian berbalik dari perintah kudus yang disampaikan kepada mereka. Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi
kembali lagi ke kubangannya” (2 Ptr 2:21-22). Kiranya naseihat yang disampaikan oleh rasul Petrus dapat menjadi peringatan tersendiri bagi kehidupan kerohanian kita. Haleluya!