SAUH BAGI JIWA
“Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya” (Ibrani 12:10)
“Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya” (Ibrani 12:10)
Saat seorang ayah menghukum anaknya karena perbuatannya yang buruk, ayah tadi akan ikut menanggung rasa sakit dari hukuman yang diberikan. Hukuman itu bukanlah untuk melampiaskan amarah sang ayah melainkan berguna untuk mendidik sang anak agar dapat mawas diri, menjaga diri, dan mampu membedakan yang benar dari yang salah.
Layaknya seorang ayah, begitu juga Allah kita, yang disebut Bapa yang di Surga. Setiap orang yang bersalah akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Hal ini terjadi untuk menjalankan keadilan-Nya, untuk menyatakan bahwa Allah itu Mahaadil. Sebagai anak-Nya, kita wajib mendukung prinsip keadilan Allah dengan tidak mengeluh saat keadilan itu berlangsung.
Di samping Mahaadil, kita juga mengenal Allah sebagai Yang Mahakasih. Kemahakasihan-Nya dapat dilihat dari hajaran itu sendiri. Memberikan hajaran setelah seorang anak membuat kesalahan adalah perwujudan kasih. Karena, pada waktu mendapat hajaran, kita mendapatkan pernyataan mutlak dari Allah bahwa kita dikasihi-Nya dan masih tetap anak-Nya (Ibr 12:5-6).
Diakui-Nya kita sebagai anak-Nya dimulai saat kita dibaptis (Gal 4:5-6), dan pengakuan ini terus-menerus diteguhkan Tuhan melalui hajaran pada waktu kita membuat pelanggaran. Jadi, pada waktu mendapatkan hajaran atas perbuatan salah, umat Tuhan hendaklah mengucap syukur atas peneguhan Tuhan ini.
Pada waktu seorang terpidana hendak dijebloskan ke dalam penjara, kesalahan yang diperbuatnya akan diberitahukan dahulu oleh hakim. Disadari atau tidak, saat orang mendapatkan hukuman, dia belajar bahwa perbuatan yang dilakukannya dulu itu salah, dosa.
Dan hukuman itu sendiri bertujuan agar yang menerima hukuman berbalik dari jalannya yang sesat, agar tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Dengan cara demikianlah umat Tuhan diproses menuju kedewasaan rohani, tujuannya agar kita memperoleh bagian dalam kekudusan-Nya.
Bagaimana kita dapat menjadi kudus apabila diri sendiri masih diliputi hal yang jahat? Melalui hukumanlah, sebagai Bapa yang baik, Dia dengan tegas mendidik kita agar kelak menjadi sempurna seperti Tuhan sendiri. Bukan itu saja, tapi juga agar kita patuh dan taat terhadap perintah-Nya di kemudian hari.
Alhasil, hukuman itu merupakan suatu proses menuju kekudusan, bukan sebagai bentuk pelampiasan kemarahan, melainkan sebagai ajang pendidikan rohani. Umat Tuhan dibesarkan dalam kesadaran akan yang benar dan yang salah. Kesadaran ini diperoleh melalui pengertian akan firman Tuhan dan melalui perbuatan nyata.
Karena kelemahannya, manusia dapat jatuh dalam kesalahan. Maka melalui pemberian hukuman atas kesalahan, Tuhan mendidik umat-Nya agar terus mengingat firman-Nya. Bukankah pengalaman atau kejadian nyata lebih membekas dalam ingatan daripada kisah yang hanya didengar? Dengan mengalaminya secara langsung, baik itu perbuatan iman maupun hajaran, lebih mudah bagi kita untuk menerapkan firman Tuhan. Itulah yang disebut pendidikan rohani. Tuhan mendidik kita supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Haleluya!