SAUH BAGI JIWA
“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki” (Yohanes 21:18)
“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki” (Yohanes 21:18)
Perintah Yesus yang terakhir kepada Petrus adalah “Ikutlah Aku.” Dalam konteks percakapan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa aspek yang terakhir dan tertinggi dalam mengasihi Yesus adalah mengikuti-Nya. Sama halnya dengan konsep mengasihi, “mengikuti Yesus” juga merupakan ungkapan abstrak lainnya. Yesus pernah menjelaskan artinya kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24).
Untuk mengikuti Yesus, kita harus siap untuk menyangkal diri sendiri. Menyangkal diri dapat dilakukan dengan mengikuti misi ke Afrika, di mana Anda harus tidur di sebuah pondok yang beratapkan jerami dan makan bubur dingin dengan lada yang pedas. Tapi menyangkal diri juga dapat dilakukan dengan menutup mulut Anda saat berbantahan dengan saudara-saudari seiman, atau memaafkan seseorang yang telah membicarakan diri Anda di belakang. Menyangkal diri adalah melepaskan keinginan dan harapan-harapan diri Anda demi Tuhan atau demi kebaikan orang lain.
Janda miskin di Sarfat menunjukkan puncak tindakan penyangkalan diri pada saat ia memberikan segenggam tepung terakhir yang dimilikinya kepada Elia (1Raj 17:10-16). Sisa terakhir dari tepung dan minyak itu seharusnya adalah untuk dirinya dan anak laki-lakinya dan setelah itu mereka berdua akan mati kelaparan. Tapi dengan rela ia memberikan semua yang dimilikinya, seakan-akan mengorbankan nyawanya dan anaknya untuk memenuhi permintaan seorang asing. Dan berdasarkan kerelaan hatinya maka Allah memberkatinya dengan memberikan kehidupan kepadanya. Tempayan yang berisi tepung dan buli-buli yang berisi minyak itu secara ajaib tidak kunjung menjadi habis, dan ketika anaknya mati, Allah membangkitkannya.
Hari ini, Yesus pun menjanjikan kehidupan bagi mereka yang rela menyangkal dirinya, yaitu kehidupan yang kekal. Yesus berkata: “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal” (Yoh 12:25).
Jika kita dapat merelakan kehidupan dan keinginan kita demi kehidupan kekal ini, maka Tuhan telah menjanjikan kita suatu upah yang besar sebagai balasannya. Kita tidak dengan bodohnya melepaskan keinginan kita tanpa suatu tujuan; sebaliknya kita melakukannya karena Yesus dan karena pengharapan akan kehidupan yang kekal.
Dalam menjawab perkataan Yesus yang ketiga kalinya: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Petrus dengan yakin menjawab: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Tetapi Yesus menghendaki Petrus untuk menunjukkan kasihnya itu dengan perbuatan, bukan hanya dengan perkataannya. Sungguh, Petrus telah memahami pelajaran tersebut, karena Yesus menubuatkan bagaimana Petrus akan mati sebagai seorang martir bagi-Nya, puncak perwujudan menyangkal diri.
Petrus akhirnya mengerti bahwa yang terpenting bukanlah apa yang kita ucapkan kepada Yesus dengan bibir kita, tapi apa yang kita tunjukkan pada-Nya melalui perbuatan-perbuatan kita. Tuhan, aku tidak ingin kalau hanya berucap: “Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau”, aku berdoa agar Tuhan menguatkan dan memimpinku. Aku ingin agar Ia tidak hanya membuat lidah saya berkata-kata, tetapi juga dapat menunjukkannya dengan perbuatan dan pikiran di dalam hatiku.