SAUH BAGI JIWA
“Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa” (Matius 11:19)
“Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa” (Matius 11:19)
Rasa lapar dan rasa haus adalah kebutuhan biologis yang dirasakan oleh manusia. Namun, hawa nafsu keinginan daging terhadap makanan dan minuman tanpa sadar justru dapat membawa manusia kepada maut. Bagaimana mungkin?
Injil Matius menuliskan, “Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan mereka berkata: Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa. Tetapi hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya” (Mat 11:19). Suatu kali, beberapa orang mengkritik Tuhan Yesus sebagai seorang pelahap dan peminum.
Memang benar bahwa Tuhan Yesus berteman dengan pemungut cukai dan orang berdosa. Namun, Tuhan bersahabat dengan mereka bukan untuk mengikuti perbuatan dosanya melainkan ingin menyelamatkan mereka. Keikutsertaan Tuhan Yesus di dalam perjamuan makan bersama adalah untuk berkenalan dan bersahabat dengan orang-orang berdosa yang ingin diselamatkan-Nya tersebut.
Kritikan orang-orang bahwa Tuhan Yesus adalah pelahap dan peminum adalah tidak benar. Dalam kehidupan-Nya, Ia sama sekali tidak memiliki kebiasaan untuk bermabok-mabokkan dan berpesta-pora. Makan dan minum hanyalah salah satu cara untuk dapat berkenalan dengan orang lain. Dari kehidupan-Nya, Tuhan Yesus sama sekali tidak kuatir terhadap apa yang akan dimakan-Nya dan diminum-Nya, bahkan seringkali Ia berpuasa. Meskipun sesekali Ia hadir dalam perjamuan resepsi pernikahan, Ia tetap menjalani gaya hidup-Nya yang sederhana.
Kehidupan Tuhan Yesus tidak dikuasai oleh perihal makanan dan minuman. Namun, budaya jaman sekarang justru menomor-satukan kepuasan jasmani, salah satunya adalah makanan dan minuman. Sebenarnya, untuk dapat makan dan minum adalah karunia pemberian Tuhan, bukanlah suatu perbuatan dosa. Tetapi ketika perbuatan makan dan minum menjadi sebuah hal yang ingin dikejar semata-mata demi kepuasan daging, perbuatan tersebut adalah menyalahgunakan karunia Tuhan.
Rasul Paulus dalam suratnya di 1 Timotius menuliskan, “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (1 Tim 6:17). Dengan kata lain, kepuasan kekal sesungguhnya dapat kita nikmati di dalam Tuhan Yesus. Bahkan rasul Paulus menyebutkan hal materi sebagai harapan yang tak tentu. Artinya, Tuhanlah yang akan memuaskan hidup kita sehingga kita dapat memiliki rasa sukacita.
Bagi kita untuk dapat makan dan minum adalah suatu karunia dan rasa sukacita pemberian Tuhan. Namun, jika kita menganggap perihal makan dan minum sebagai prioritas hidup, maka kita akan menyalahgunakan karunia pemberian yang telah Tuhan berikan. Ada perkataan yang cukup terkenal, “makan itu adalah untuk hidup, bukan sebaliknya—hidup untuk makan.” Maksudnya, kita makan untuk memenuhi kebutuhan biologis. Tetapi hidup yang kita jalani itu bukanlah untuk mengejar kepuasan dalam hal makanan dan minuman.
Sekarang ini, di negara yang memiliki perkembangan atau kemajuan ekonomi, budaya masyarakat cenderung akan mengejar kepuasan dalam hal makanan dan minuman. Tuntutan masyarakat untuk mencicipi serta menyantap makanan lezat dan bervariasi juga semakin tinggi.
Jika kita hanya berpusat pada kesenangan dan kepuasan jasmani semata-mata, kita akan terjerat pada budaya pelahap dan peminum. Budaya “hidup hanya untuk makan” bukan hanya dapat menyebabkan penumpukkan sakit-penyakit pada tubuh, melainkan juga sakit rohani—menjauhkan kita pada kepuasan rohani terhadap Tuhan.