SAUH BAGI JIWA
“Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu…tetapi seandainya tidak…kami tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Daniel 3:17-18)
“Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu…tetapi seandainya tidak…kami tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Daniel 3:17-18)
Ada sebuah eksperimen sosial yang dilakukan di sebuah jalan yang agak sepi. Saat ada seorang pejalan kaki yang lewat, tiba-tiba ada sekelompok orang–yang sudah diatur sedemikian rupa–berlari-lari seakan hendak menghindari suatu bahaya. Dengan spontan, sang pejalan kaki itu pun ikut berlari tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Eksperimen sosial tersebut membuktikan bahwa manusia pada umumnya cenderung mengikuti perilaku yang dilakukan oleh mayoritas.
Penulis kitab Daniel dalam pasal 3 menceritakan tentang raja Nebukadnezar yang menitahkan rakyat dan para pejabat pemerintahannya untuk menyembah patung emas yang telah ditahbiskannya. Ketiga teman Daniel tentu tak luput dari titah tersebut. Andaikata kita adalah ketiga teman Daniel, akankah kita mengikuti perilaku mayoritas untuk menyembah patung emas? Atau kita mengambil tindakan yang melawan arus?
Dalam kitab Daniel, penulis pun mencatatkan betapa besarnya tekanan yang dialami oleh ketiga teman Daniel. Saat orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa sujud menyembah patung emas itu, hanya tiga orang yang tetap berdiri tidak memuja dewa dan tidak menyembah patung emas tersebut. Bayangkan berapa banyak mata yang tertuju dan menatap ketiga orang itu!
Ketika raja Nebukadnezar dalam kegeraman dan kemarahannya menuntut pertanggung-jawaban perbuatan mereka; ketiga teman Daniel serentak dan menjawab jawaban yang sama. Ketiganya bersama-sama mempertanggung-jawabkan iman keyakinan yang mereka pegang. Tidak ada yang saling menyalahkan atau bahkan menjatuhkan yang lain demi mencari kepentingannya sendiri.
Saat meminta pertanggung-jawaban, raja sebenarnya memberikan ketiga teman Daniel kesempatan sekali lagi agar mereka dapat lolos dari hukuman perapian yang menyala-nyala, yaitu: Menyembah patung emas di hadapan raja! Sekilas, kesempatan tersebut seakan-akan jalan keluar dalam kesesakan; ternyata bukan. Perintah raja yang kedua tidak jauh berbeda dengan titah awalnya–memaksa ketiga teman Daniel untuk berkompromi dalam hal iman kepercayaan.
Pada hari ini, pergumulan-pergumulan dalam kehidupan sehari-hari pun dapat menempatkan kita pada posisi untuk melakukan kompromi dalam hal iman. Misalkan saja, di tengah kesulitan mengerjakan soal ulangan, tiba-tiba saja teman melemparkan kertas kecil berisikan jawaban. Di saat usaha sedang sepi pesanan, tiba-tiba saja ada pelanggan ingin memborong–tetapi dengan syarat harga dinaikkan sesuai permintaannya. Akankah kita berkompromi?
Ketiga teman Daniel dengan tegas menambahkan, seandainya Tuhan tidak melepaskan mereka dari perapian, mereka tetap pada pendirian iman mereka–tidak akan memuja dewa dan tidak akan menyembah patung yang dibuat raja. Mereka dengan besar hati mau menerima konsekuensi dari perbuatan untuk tidak berkompromi.
Ada kalanya, demi mempertahankan nilai kejujuran dan rasa takut akan Tuhan, nilai ulangan tidak sebagus yang kita harapkan; hasil keuntungan usaha tidak sebanyak seperti yang kita telah rencanakan. Namun, ketahuilah bahwa mata Tuhan melihat. Bukan sekadar mengamati, melainkan Tuhan akan memberikan kasih karunia-Nya kepada kita.
Rasul Petrus dalam suratnya pernah memberi penghiburan bahwa sekalipun kita menderita karena kebenaran, sekalipun kita menderita karena perbuatan baik; itulah kasih karunia Allah pada kita (1 Pet 2:20; 3:14). Kiranya kuasa Roh Kudus-Nya memberikan kita kekuatan dan hikmat di dalam mengambil keputusan-keputusan hidup yang mengandung kompromi terhadap iman kepercayaan.