SAUH BAGI JIWA
“Dari Paulus…dan kepada jemaat di rumahmu” (Filemon 1:1-2)
“Dari Paulus…dan kepada jemaat di rumahmu” (Filemon 1:1-2)
Selama ini, kita sudah terbiasa beribadah di gereja, yaitu sebuah tempat khusus ibadah. Namun, ketika pandemi melanda, kegiatan ibadah tidak lagi dilakukan secara tatap muka di tempat ibadah; melainkan dilakukan secara online di rumah masing-masing bersama anggota keluarga. Di masa-masa seperti itulah, gereja adalah jemaat yang ada di rumah.
Dalam salam pembukanya, selain Paulus menyapa Filemon, Apfia dan Arkhipus, ia juga memberi salam kepada jemaat yang berada di rumah Filemon. Dalam bahasa Yunani, kalimat “kepada jemaat di rumahmu” dapat diterjemahkan secara harfiah menjadi “kepada persekutuan yang secara khusus berada di rumahmu,” dengan rujukan bahwa gereja yang dimaksud adalah jemaat yang berada di rumah Filemon.
Dengan kata lain, gereja pada masa itu adalah persekutuan antar saudara-saudari seiman yang dilakukan di sebuah rumah tinggal seorang jemaat. Maka, pada saat persekutuan, si empunya rumah beserta anggota keluarganya bersama-sama dengan saudara-saudari seiman yang lain berkumpul menjadi satu keluarga dalam Tuhan.
Pada hari ini, sudahkah kita menganggap saudara-saudari seiman di gereja seperti halnya anggota keluarga kita sendiri? Selama ini, bagaimanakah hubungan kita dengan anggota keluarga di rumah? Ada kalanya dalam keluarga, kita berselisih paham dan hal tersebut membuat kita jengkel. Namun, ada kalanya kita bersatu hati sehingga kita merasakan adanya sukacita. Itulah lika-liku dalam keluarga.
Meskipun setiap anggota keluarga memiliki sifat perilaku yang berbeda, pada akhirnya mereka semua adalah satu keluarga dan masing-masing anggota tetap perlu bekerjasama, baik dalam hal menyesuaikan diri terhadap perbedaan maupun dalam “mengalah” untuk mengasihi agar keharmonisan keluarga tetap terjaga.
Namun, tidak jarang karena rasa kecewa dan marah, sesama jemaat pergi meninggalkan persekutuan dan tidak lagi bersama-sama—seperti layaknya seorang anak yang merasa kecewa, kemudian memutuskan hubungan keluarga. Tetapi, dapatkah sebuah hubungan keluarga diputuskan? Secara biologis seorang ayah akan tetap menjadi ayah biologis dari sang anak; begitu pula hal sebaliknya. Sebagai anggota tubuh Kristus, kita semua telah dibaptis dalam darah-Nya. Dengan demikian, secara rohani sesama saudara-saudari seiman adalah satu keluarga dalam Tuhan.
“…anggota-anggota [tubuh] kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus…supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan,” demikian nasehat rasul Paulus kepada gereja di Korintus—yang adalah satu-kesatuan anggota-anggota tubuh Kristus (1 Kor 12:23-25).
Suatu ketika, jari kelingking di kaki kananku terkilir. Agar tidak terlalu sakit, kelingking beserta bagian sekitarnya harus kuangkat sedikit saat berjalan—sehingga jari jempol kaki dan jari-jari lainnya harus mendapat tekanan yang lebih berat. Meskipun masih sedikit tertatih, aku masih bisa berjalan dan melakukan aktivitas yang lain.
Sama halnya, saat kita berusaha untuk saling memperhatikan kekurangan sesama saudara-saudari seiman, sesungguhnya kita sedang menopang “rasa sakit rohani” orang tersebut. Sebaliknya, jika kita merasa acuh tak acuh terhadap sesama saudara-saudari seiman, bahkan saling “menyakiti hati” satu dengan yang lain, baik melalui perkataan ataupun dengan perbuatan; maka jalannya pertumbuhan tubuh Kristus menjadi terhambat.
Kiranya, salam rasul Paulus “kepada jemaat di rumahmu” terhadap Filemon dan persekutuan jemaat di keluarganya dapat menjadi pengingat bagi kita di dalam berinteraksi dengan sesama saudara-saudari seiman seperti layaknya kita berinteraksi dengan anggota keluarga dalam keluarga besar Kristus.