SAUH BAGI JIWA
“…dan kepada Apfia saudara perempuan kita…” (Filemon 2)
“…dan kepada Apfia saudara perempuan kita…” (Filemon 2)
Menurut perkataan orang, kalau kita memiliki saudara perempuan maka akan jarang berkelahi. Aku sendiri memiliki seorang kakak laki-laki. Dahulu, waktu kami masih kecil, sering sekali berkelahi.
Memang, aku tidak pernah mengalami bagaimana rasanya memiliki saudara kandung perempuan. Namun, saat beranjak dewasa, perlahan aku baru memahami dan merasakan sendiri bagaimana rasanya memiliki saudara-saudara perempuan dalam Kristus.
Saat aku kuliah di luar negri, baru mengalami bagaimana rasanya jauh dari orangtua. Di tahun kedua, aku pindah ke kampus yang jaraknya lebih dekat dengan gereja. Namun, mencari tempat tinggal baru dengan harga sewa yang cocok adalah suatu tantangan tersendiri. Kebetulan di gereja, ada seorang ibu setengah baya yang menawarkanku untuk nge-kos di rumahnya, yaitu sebuah kamar di lantai satu. Selain dekat dengan kampus, akses masuk ke kamar lantai satu terpisah—melalui pintu belakang rumah. Aku sungguh merasa bersyukur dan langsung menerima tawarannya.
Seperti “burung yang lepas dari sangkarnya,” tinggal sendiri berarti mau makan apa, kapan mau mandi, kapan mau belajar, mau pergi jalan-jalan kemana, mau pulang jam berapa—suka-suka tidak ada yang melarang.
Suatu kali, setelah pergi jalan-jalan bersama teman, aku pulang hampir larut malam. Besok paginya, si ibu mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Ketika kubukakan, tampak raut wajahnya agak marah. Ia langsung bertanya, “Kamu kemarin malam kemana? Lain kali jangan pulang malam-malam yah!”
Terus terang, dalam hati kecil aku merasa kesal. “Ibu ini bukan mamaku. Lagipula aku tinggal di kamar terpisah dengan akses masuk terpisah. Aku juga tidak berisik dan tidak mengganggunya. Lalu mengapa ia harus menegurku seperti itu?” Aku hanya mengiyakannya secara formalitas tanpa ada rasa menyesal.
Hari demi hari berlalu, aku mulai sibuk dengan pelajaran kuliahku. Suatu kali si ibu mengetuk pintuku. Aku berpikir, “Apa lagi kesalahanku kali ini?” Ketika pintu kubuka, sepiring makanan dengan aroma yang lezat sudah di depan mataku. Ia membawakanku makanan sambil berkata, “Makanlah, cobain deh masakanku.” Kemudian ia berlalu ke dapur. Wah senangnya, kebetulan saat itu aku belum makan siang.
Kemudian, pernah juga di suatu musim dingin, si ibu meminjamkanku sebuah jaket tebal. Awalnya aku merasa risih karena itu barang pinjaman. Tetapi ia berkata, “Tidak apa, coba pakai, jaket ini toh sudah lama tidak ada yang pakai.” Aku mencobanya—ternyata sangat hangat dan nyaman!
Aku baru menyadari bahwa selama ini, ia begitu memperhatikanku. Ia ternyata tahu bahwa aku terkadang telat makan siang; ia tahu bahwa aku belum membeli jaket musim dingin. Tiba-tiba rasa penyesalan muncul dari dalam hati karena aku pernah merasa kesal terhadap si ibu. Meskipun awalnya ia hanyalah seorang ibu yang baru aku kenal di gereja, masa demi masa tinggal di rumahnya, ia justru telah menjadi sosok pengganti mamaku.
Kadangkala aku merasa sedih saat teringat akan mamaku sendiri, dipisahkan sangat jauh oleh jarak. Namun, di lain sisi, aku begitu terharu dan terhibur oleh kehadiran si ibu setengah baya ini, bukan hanya ia seorang saudari dalam Kristus, melainkan ia juga adalah mamaku di dalam Tuhan.