SAUH BAGI JIWA
“…bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan…supaya kamu menjadi sempurna…” (Yakobus 1:3-4)
“…bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan…supaya kamu menjadi sempurna…” (Yakobus 1:3-4)
Tuhan Yesus dilahirkan di sebuah palungan dan dibesarkan dalam keluarga tukang kayu. Semasa dewasa Ia sangat miskin dan tidak memiliki rumah. Ia tidur di padang belantara dengan rumput sebagai alas tidur-Nya dan batu sebagai sandaran kepala-Nya. Ketika lapar, buah-buahan dari pepohonan liar menjadi makanan-Nya. Karena kehidupan yang demikian keras, Ia terlihat jauh lebih tua dari umur-Nya. Walaupun Ia memiliki hikmat dan kuasa Allah, orang-orang tidak menghormati-Nya bahkan mereka mengabaikan dan mengejek-Nya.
Ada saatnya kita merasa lebih rendah dari orang lain. Kita mungkin tidak berpendidikan dan tidak sepandai mereka. Dan tanpa kita sadari, dalam diri kita timbul rasa minder yang membuat kita menjadi malas bekerja untuk Tuhan. Di zaman-Nya, Tuhan Yesus tidak terlalu dianggap oleh masyarakat di sekitar-Nya karena tidak memiliki fisik yang menarik atau kekayaan. Tetapi Ia tidak pernah membiarkan hal ini menghalangi-Nya.
Ketika Tuhan memilih kita untuk menjadi bejana kudus-Nya, materi atau fisik tidak termasuk dalam kriteria-Nya. Ia lebih mengutamakan penyempurnaan rohani dan perubahan fokus kita dalam kehidupan ini — dari mengejar harta dunia yang fana menjadi mengejar kerohanian yang akan bertahan sampai akhir.
Tuhan Yesus datang ke dunia untuk menggenapi rencana penyelamatan Allah. Dengan memahami hal ini, Ia bekerja dengan penuh kerelaan untuk mencapai tujuan itu. Saat pelayanan-Nya akan berakhir, yaitu ketika penderitaan di atas kayu salib semakin dekat, Ia mengakui bahwa hati-Nya takut terhadap penderitaan yang mendekat itu. Tetapi akhirnya Ia menguatkan diri-Nya sendiri, “Sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini” (Yoh 12:27). Ketika para tentara hendak menangkap-Nya, Ia menyerahkan diri dengan tenang bagaikan anak domba yang dibawa ke pembantaian. Selanjutnya Ia harus menahan ejekan dan pukulan para tentara sebelum akhirnya penderitaan di atas kayu salib itu tiba. Ia menderita kesakitan yang luar biasa untuk memenuhi kehendak Allah.
Hari ini, ketika kita melayani Tuhan, mungkin kita mendapatkan banyak kritik dan perlawanan, bahkan dari saudara seiman kita sendiri. Karena sikap mereka yang tidak mendukung, kita dapat menjadi tawar hati dan berhenti berpartisipasi dalam pelayanan di gereja. Sekali lagi, marilah kita mengingat penderitaan Tuhan Yesus.
Jika kita mengerti betapa menderitanya Tuhan, kita akan menyadari bahwa kesusahan kita sungguh tidak berarti. Dapatkah kita mengorbankan pekerjaan kudus hanya karena seseorang membuat kita kesal? Tidakkah seharusnya kita berpegang teguh pada keyakinan kita dan, seperti Tuhan Yesus, menahan diri agar kehendak Allah terpenuhi? Inilah sebabnya penulis surat Yakobus menguatkan kita agar berbahagia jika kita jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, karena ujian-ujian iman itu akan menghasilkan ketekunan yang mengarah pada kesempurnaan (Yak 1:2-4).
Kesukaran yang kita alami akan mempersiapkan diri kita untuk mengalahkan kesukaran besar ini. Karakter Tuhan Yesus yang dimanifestasikan melalui dedikasi-Nya terhadap pelayanan, keteguhan hati-Nya di tengah kekurangan fisik dan materi, serta pengorbanan-Nya untuk memenuhi kehendak Allah, akan memberikan inspirasi bagi kita untuk terus berpegang teguh pada keyakinan awal kita. Saat kita yakin untuk menerima Tuhan Yesus, kita harus mengikuti jejak-Nya menuju keselamatan dan kemuliaan kekal. Karena itu, marilah kita terus-menerus merenungkan perbuatan-perbuatan Tuhan Yesus agar kita tidak menjadi lemah dan putus asa!