SAUH BAGI JIWA
“Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1)
“Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1)
Kitab Ibrani pasal 11 diawali dengan definisi iman. Untuk menjelaskan hal ini, pembaca diberi sederet contoh tokoh-tokoh Alkitab yang walaupun mengalami kesusahan dan penderitaan pada berbagai waktu dan tempat yang berbeda, mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan awalnya.
Dengan contoh-contoh tersebut, penulis bermaksud mendorong para pembaca untuk menanggalkan semua beban dan dosa yang menghalangi, dan bertanding dengan penuh ketekunan dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Sebagai contoh iman, diberikan sebuah referensi yang merupakan perintis penyempurnaan iman, yaitu Tuhan Yesus (Ibr 12:13). Hidup-Nya yang singkat di dunia ini dipenuhi dengan kesukaran jasmani dan penderitaan rohani yang kemudian berakhir di atas kayu salib untuk menanggung dosa umat manusia.
Agar orang-orang yang skeptis tidak berkata bahwa karena Yesus adalah perwujudan Tuhan sendirilah sehingga Ia dapat menanggung semua penderitaan dengan mudah, penulis dalam Ibrani 4:14-15 secara spesifik menjelaskan bahwa ketika Yesus berada di dunia ini, Ia memiliki semua kelemahan seorang manusia. Seperti seorang manusia, Ia pun dicobai, hanya saja Ia berhasil mengalahkan cobaan tersebut. Kala iman kita mulai lemah di tengah-tengah kesukaran yang kita hadapi, kita perlu mengingat contoh yang diberikan Tuhan Yesus.
Perjuangan secara fisik dan rohani-Nya jauh lebih berat daripada yang kita alami, tetapi Ia menanggung semuanya sehingga Allah meninggikan dan memuliakan Dia. Ia sungguh-sungguh menjadi inspirasi kita. Dalam perjalanan iman kita, baiklah kita selalu mengingat-Nya agar tidak menjadi lemah dan putus asa. Marilah kita meneladani perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, yang mampu membuat-Nya bertahan dalam kesukaran dan menguatkan keyakinan-Nya.
Semasa pelayanan-Nya di dunia, Tuhan Yesus mengabdikan diri sepenuhnya untuk umat manusia. Semua tindakan yang dilakukan-Nya mewujudkan kasih dan pengampunan Allah. Keempat Injil mencatat banyak kejadian Ia menolong sesama manusia sampai tidak sempat makan. Ada beberapa kejadian saat Ia sangat ingin beristirahat tetapi melihat kerumunan orang banyak yang mendekati-Nya, Ia merasa kasihan kepada mereka. Mereka mengalami kesusahan dan tidak ada yang menolong mereka. Mereka bagaikan domba yang tidak memiliki gembala yang dapat menuntun mereka. Dia telah mengorbankan waktu dan diri-Nya untuk kebutuhan umat manusia.
Sayangnya, orang-orang di sekitar-Nya, bahkan keluarga terdekat-Nya, seringkali salah mengerti akan diri-Nya. Orang-orang Farisi menuduh-Nya kerasukan setan dan keluarga-Nya meragukan kewarasan-Nya (Mrk 3:20-22). Dilema yang dihadapi Tuhan Yesus mungkin dialami juga oleh kita. Terinspirasi oleh kasih Allah dan keinginan untuk menolong sesama manusia, kita memutuskan untuk melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh. Tetapi semangat kita seringkali disalah-artikan sebagai fanatik. Bukannya ikut bersukacita karena pertobatan kita, teman-teman kita malah menjauh. Kita bukan lagi bagian dari mereka karena kita telah melepaskan kenikmatan materi dan kehidupan dosa. Yang terburuk adalah mereka mungkin mengira kita telah dipengaruhi oleh semacam aliran kepercayaan.
Saat kita dihadapkan pada kenyataan ini, janganlah kita menjadi tawar hati. Sebaliknya, kita harus mengingat keteguhan Tuhan Yesus. Tidak pernah Ia membiarkan orang-orang di sekitar-Nya menghalangi misi-Nya. Baiklah kita merenungkan dedikasi-Nya pada pelayanan agar kita tidak menjadi lemah dan putus asa.