SAUH BAGI JIWA
“Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah…Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yosua 24:15)
“Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah…Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yosua 24:15)
Dalam hidup ini, kita terus-menerus berada dalam situasi yang mengharuskan kita menentukan pilihan. Jalan mana yang harus saya pilih? Pelajaran apa yang harus saya ambil? Banyak orang melukiskan permulaan hidup seperti sebuah perahu yang baru meninggalkan dermaga tempatnya berlabuh. Dan kita adalah juru mudi yang harus mengarahkan perahu itu di tengah lautan luas yang bergelombang.
Rasul Yakobus pernah menuliskan, “Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap” (Yak 4:14). Jika kita memilih untuk percaya kepada-Nya, sesudah hidup yang singkat di dunia ini kita akan mendapat bagian dalam Kerajaan Surga yang kekal. Konsekuensinya, adalah masuk akal bahwa semua pilihan lainnya dalam hidup kita — pelajaran, karir, dan lain-lain– haruslah sejalan dengan pilihan menakjubkan yang telah kita buat sebelumnya.
Sayangnya, saat berhadapan dengan tuntutan masyarakat dan harapan dari orang-orang di sekitar kita serta tekanan hidup, kita terus-menerus berada dalam pergumulan untuk tetap dapat berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran Tuhan. Kita menemukan bahwa komitmen kita untuk menjadi seorang pengikut Tuhan seringkali jadi terlihat begitu lemah dan sangat sulit untuk dipertahankan.
Kita semua tahu cerita tentang Musa yang memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Melalui tangan Musa, Tuhan mengadakan sepuluh tulah di Mesir sehingga bangsa Israel dapat dibebaskan dari perbudakan. Kemudian mereka membuat pilihan untuk menggabungkan diri di bawah kepemimpinan Musa; sehingga melalui Musa, Tuhan akan memimpin mereka ke dalam tanah perjanjian.
Belum lama berjalan, Laut Merah membentang di hadapan mereka. Tepat di belakang, tentara Firaun yang kejam sedang mengejar mereka. Bangsa Israel langsung saja bersungut-sungut kepada Musa. Di saat genting seperti itu, mereka seketika melupakan kesepuluh tulah yang telah diturunkan Tuhan untuk membebaskan mereka dari perbudakan Mesir. Bangsa Israel tidak konsisten pada pilihan yang telah mereka buat sebelumnya, yaitu untuk membiarkan Tuhan memimpin mereka ke tanah perjanjian.
Akhirnya, ketika mereka akan memasuki tanah perjanjian, 12 pengintai diutus untuk menyelidiki tanah tersebut. Karena laporan dari 10 pengintai yang kurang beriman, bangsa Israel mulai bersungut-sungut lagi kepada Tuhan. Mereka bahkan berencana untuk memilih seorang pemimpin baru yang akan memimpin mereka kembali ke Mesir, kembali hidup sebagai budak. Di mana konsistensi mereka pada pilihan mereka untuk meninggalkan Mesir dan memasuki tanah perjanjian?
Akibatnya, sebagian besar dari mereka hidupnya berakhir dengan tragis. Kecuali Yosua dan Kaleb, orang Israel lainnya yang saat keluar dari Mesir berusia lebih dari 20 tahun tidak dapat masuk ke tanah perjanjian. Membaca tragedi bangsa Israel ini saja sudah sangat menghancurkan hati. Apalagi jika kita mengulanginya!
Sekarang ini, apakah kita akan tetap konsisten bersandar kepada pimpinan-Nya dan mempercayai penyelamatan-Nya di setiap saat kita membutuhkannya? Biarlah tragedi bangsa Israel menjadi suatu pelajaran bagi kita. Kita harus terus merenungkan pekerjaan Tuhan yang menakjubkan dalam hidup kita, dan berdasarkan hal ini, membangun suatu hidup yang penuh iman dalam Tuhan. Marilah kita berpegang teguh kepada iman kita dan tetap konsisten sampai akhir.