SAUH BAGI JIWA
“Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” (Amsal 16:18)
“Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” (Amsal 16:18)
Penulis Amsal memperingatkan bahwa kesombongan akan membawa diri kita kepada kehancuran. Orang yang sombong bukan hanya tidak disukai oleh orang lain, karena perbuatan mereka yang merendahkan orang, melainkan juga ditentang oleh Tuhan.
Menjadi sombong adalah permasalahan yang pernah dan akan dihadapi oleh setiap orang. Kesombongan yang dicatatkan pertama kali dalam Alkitab adalah keinginan untuk menyamakan diri dengan Tuhan. Manusia tergoda untuk menjadi seperti Allah.
Mengapa manusia tidak boleh menyamakan dirinya dengan Tuhan? Sejak penciptaan, Tuhan Allah telah berfirman kepada manusia, agar manusia menaklukkan bumi dan berkuasa atas segala binatang; bukan untuk menaklukkan Sang Pencipta.
Bayangkan, segala binatang berada di bawah kuasa manusia, bukan sebaliknya. Kebun binatang menampilkan beraneka-ragam jenis binatang, bukan menampilkan manusia. Meskipun manusia berkuasa atas segala ciptaan Tuhan, manusia tidak berkuasa atas Tuhan Allah.
Selain itu, Alkitab memberitahukan kepada kita bahwa Tuhanlah yang menciptakan taman Eden. Tuhan menempatkan manusia ke dalam taman itu, dan Ia yang memberikan ketentuan dan peraturan kepada manusia dalam kehidupannya dalam taman tersebut (Kej 2:16, 17).
Namun manusia ingin menjadi seperti Tuhan. Ketika ia mendengar bahwa dengan memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, ia sekali-kali tidak akan mati melainkan matanya akan terbuka dan akan menjadi seperti Allah; langsung ia mengambilnya dan memakannya. Manusia ingin menjadi seperti Allah, mengambil posisi sebagai Allah—inilah kesombongan.
Nabi Yesaya pernah menuliskan tentang ejekan terhadap raja Babel yang jatuh dan diturunkan ke dalam dunia orang mati (Yes 14:4, 15). Padahal, awalnya ia begitu mulia, mengalahkan bangsa-bangsa. Kemenangan demi kemenangan tidak cukup bagi dirinya, bahkan ia hendak menyamai Yang Mahatinggi—Inilah dosa kesombongannya!
Mengapa raja Babel dijatuhkan dan diturunkan? Dalam versi Alkitab bahasa Inggris NKJV, Yesaya 14:13-14 mencatat sebanyak lima kali kata “Aku.” Aku hendak naik ke langit. Aku hendak mendirikan tahtaku. Aku hendak duduk di atas bukit pertemuan. Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan. Aku hendak menyamai Yang Mahatinggi. Lima kali berturut-turut hanya dalam dua ayat saja.
Bayangkan, jikalau Anda berbicara kepada seseorang, orang tersebut selalu meninggi-ninggikan, membangga-banggakan dirinya dan dalam perkataannya selalu mengulang dan menekankan, “Inilah konsepku, inilah pemikiranku, inilah pandanganku,” bukankah akhirnya kita akan merasa risih dan tidak nyaman?
Setelah kita percaya kepada Tuhan, barulah kita mengetahui bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang kita miliki adalah milik Tuhan, termasuk pula pandangan dan pikiran kita. Namun, jika kita masih bersikeras atas pandangan dan prinsip pribadi dibandingkan dengan taat pada kehendak Tuhan, dosa kesombongan sudah bekerja pada diri kita.
Ketika kita meninggikan diri, apalagi menyamakan diri dengan Tuhan, sebenarnya kita telah merendahkan Tuhan. Seberapa besarkah diri kita jika dibandingkan dengan Tuhan Allah–Sang Pencipta alam semesta beserta segala isinya? Dibandingkan dengan alam semesta yang sangat luas, galaksi bima sakti begitu kecil. Dibandingkan dengan sistem tata surya beserta planet-planet yang ada, bumi yang kita tempati sangatlah kecil. Dibandingkan dengan milyaran penduduk dunia saat ini, apakah artinya diri kita? Sesungguhnya, di hadapan Tuhan Allah Sang Pencipta, kita tidak berarti. Saat “aku” meninggikan diri, ingin menyamai seperti Tuhan, inilah dosa kesombongan.