SAUH BAGI JIWA
“Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” (Lukas 18:8)
“Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” (Lukas 18:8)
Setiap zaman memiliki tantangannya tersendiri. Alkitab menceritakan tentang tantangan zaman yang dihadapi umat Tuhan di masa akhir (2Tim 3:1-9). Di akhir zaman, orang-orang akan memberontak terhadap orang tua, tidak dapat mengekang diri, tidak suka akan yang baik, tidak mempedulikan agama, dan lebih menuruti hawa nafsu ketimbang Allah. Ini merupakan gambaran manusia yang menyedihkan di akhir zaman.
Dengan kata lain, manusia yang hidup di akhir zaman memegang nilai hidup kebebasan dan hedonisme dengan slogan, “Apa yang saya suka, akan saya lakukan. Hidup hanya sekali, jadi nikmatilah sepuas-puasnya.” Nilai-nilai demikian sesungguhnya sudah melekat pada manusia zaman sekarang. Mereka mengejar kebanggaan, atau prestige, misalnya dengan menggunakan merk atau brand tertentu, gaya hidup mewah dan fashionable yang disertai dengan nongkrong di cafe-cafe dan selalu eksis di media sosial. Mereka pun cenderung tidak peduli dengan keadaan sosial sekitar mereka, karena lebih berfokus pada gadget di tangan dan tidak dapat hidup tanpa internet.
Melihat keadaan yang demikian, tidak mengherankan akhirnya orang beriman pun akan mengalami krisis iman di akhir zaman. Oleh karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka lebih percaya pada jawaban yang diberikan search engine dibandingkan dengan jawaban dalam Alkitab. Walaupun sesungguhnya Alkitab tidak pernah usang ditelan zaman (1Ptr 1:23-25).
Sebagian lagi akan berpikir bahwa dengan semakin cepatnya koneksi internet, maka video khotbah dan artikel rohani pun dapat dengan mudah diperoleh hanya melalui sentuhan layar di gadget, tanpa perlu repot-repot datang beribadah dan mengikuti persekutuan secara tatap muka. Apakah benar demikian? Sesungguhnya Allah menginginkan agar anak-anak-Nya hidup bergereja, berkomunitas dan bersekutu layaknya domba yang hidup berkerumun dengan domba-domba lainnya; saling membantu dan membangun saudara-saudari seiman (Ibr 10:25).
Melihat keadaan di atas, tak mengherankan apabila banyak orang percaya menjadi miskin pengalaman rohani bersama Tuhan. Bagi mereka, agama hanyalah status; mereka tidak benar-benar merasakan pentingnya Tuhan dan ibadah. Seakan-akan Tuhan tidak hadir dalam hidup mereka. Padahal mungkin orang tua mereka memiliki banyak kesaksian bagaimana Tuhan menyertai hidup mereka. Bila kita semakin sulit untuk merasakan pengalaman rohani bersama Tuhan, ini adalah tanda-tanda peringatan bagi iman kita.
Timotius adalah pemuda yang mempunyai iman yang dipuji oleh rasul Paulus (2Tim 1:5). Mengapa imannya bertumbuh? Iman Timotius diturunkan oleh nenek dan ibunya, karena mereka mengajarkan pengetahuan kebenaran, menceritakan pengalaman rohani kepada Timotius, dan hidup sebagai teladan. Timotius sendiri, sejak ia kecil sudah mengenal Kitab Suci dan mempelajari firman Tuhan (2Tim 3:5). Paulus memberikan tanggung jawab kepada Timotius untuk menggembalakan gereja, melakukan pelayanan, dan menjadi teladan di usianya yang masih muda (1Tim 4:12-15).
Janganlah kita menjadi serupa dengan angkatan dunia. Kita harus membedakan diri sebagai anak-anak Allah di antara dunia. Tuhan menyertai kita.