SAUH BAGI JIWA
“Pulanglah anak-anakku, pergilah, sebab sudah terlalu tua aku untuk bersuami. Seandainya pikirku: Ada harapan bagiku, dan sekalipun malam ini aku bersuami, bahkan sekalipun aku masih melahirkan anak laki-laki, masakan kamu menanti sampai mereka dewasa?” (Rut 1:12-13a)
“Pulanglah anak-anakku, pergilah, sebab sudah terlalu tua aku untuk bersuami. Seandainya pikirku: Ada harapan bagiku, dan sekalipun malam ini aku bersuami, bahkan sekalipun aku masih melahirkan anak laki-laki, masakan kamu menanti sampai mereka dewasa?” (Rut 1:12-13a)
Dari perkataan Naomi kepada kedua orang menantunya, kita bisa memahami beberapa hal berkaitan dengan prinsip pernikahan. Pertama, pernikahan adalah bagi orang-orang yang telah dewasa. Kitab Kejadian mencatat: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej 2:24).
Sebagai kepala keluarga, suami harus memiliki kedewasaan dan kemandirian, lepas dari ketergantungan terhadap ayah dan ibunya. Masih dalam kitab Kejadian, “Lalu bertambah besarlah kedua anak itu: Esau menjadi seorang yang pandai berburu, seorang yang suka tinggal di padang, tetapi Yakub adalah seorang yang tenang, yang suka tinggal di kemah. Ishak sayang kepada Esau, sebab ia suka makan daging buruan, tetapi Ribka kasih kepada Yakub.” (Kej 25:27-28). Anak yang sulung adalah anak kesayangan ayah; anak yang bungsu adalah kesayangan ibunya. Orang yang dewasa haruslah lepas dari ketergantungan kepada ayah dan ibu.
Kedua, Naomi berkata, “Sebab sudah terlalu tua aku untuk bersuami” (Rut 1:12a). Anak kembar Ishak menikah dalam usia yang berbeda jauh. “Ketika Esau telah berumur empat puluh tahun, ia mengambil Yudit, anak Beeri orang Het, dan Basmat, anak Elon orang Het, menjadi istrinya.” (Kej 26:34). Dari catatan yang ada, dapat disimpulkan bahwa usia Yakub saat menikah dengan Lea adalah 84 tahun.
Dalam suratnya kepada jemaat Korintus, Paulus menyinggung tentang hal perkawinan: “Tetapi jikalau seorang menyangka, bahwa ia tidak berlaku wajar terhadap gadisnya, jika gadisnya itu telah bertambah tua dan ia benar-benar merasa, bahwa mereka harus kawin, baiklah mereka kawin, kalau ia menghendakinya. Hal itu bukan dosa.” (1Kor 7:36). Naomi dan Paulus menyinggung perihal usia tua.
Dalam mazmurnya, Musa berkata, “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” (Mzm 90:10). Kitab Kejadian menuliskan: “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu.” (Kej 1:28a). Keluarga tanpa adanya kakek merupakan keluarga yang dihukum Allah (lihat 1Sam 2:31).
Berdasarkan catatan Alkitab, usia pernikahan antara 34 dan 39 tahun sudah tergolong lanjut. Umat Tuhan yang menikah pada rentang usia itu umumnya memperoleh cucu ketika mereka memasuki umur 70 atau 80 tahun. Mazmur Musa baru muncul kira-kira 400 tahun setelah masa Esau dan Yakub. Laki-laki dan perempuan kiranya bisa menikah sebelum usia mereka terlalu tua.
Ketiga, Naomi mengingatkan, “Seandainya pikirku: “Ada harapan bagiku.” (Rut 1:12b). Pemuda bisa tertarik dengan lawan jenisnya, demikian pula sebaliknya. Yang melirik dan yang dilirik sama-sama tertarik, barulah ada harapan terjadinya pernikahan. Namun, ada pula kasus di mana hanya salah satu saja yang tertarik, sementara yang lain bersikap acuh tak acuh. Apakah saat ini Anda punya harapan untuk menikah? Jangan sia-siakan kesempatan ini.