SAUH BAGI JIWA
“Lalu tertunduklah Abraham dan tertawa serta berkata dalam hatinya: “Mungkinkah bagi seorang yang berumur serratus tahun dilahirkan seorang anak dan mungkinkah Sara yang telah berumur sembilan puluh tahun itu melahirkan seorang anak?” Jadi tertawalah Sara dalam hatinya, katanya: “Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?” Berkatalah Sara: “Allah telah membuat aku tertawa; setiap orang yang mendengarnya akan tertawa karena aku.” (Kejadian 17:17; 18:12; 21:6)
“Lalu tertunduklah Abraham dan tertawa serta berkata dalam hatinya: “Mungkinkah bagi seorang yang berumur serratus tahun dilahirkan seorang anak dan mungkinkah Sara yang telah berumur sembilan puluh tahun itu melahirkan seorang anak?” Jadi tertawalah Sara dalam hatinya, katanya: “Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?” Berkatalah Sara: “Allah telah membuat aku tertawa; setiap orang yang mendengarnya akan tertawa karena aku.” (Kejadian 17:17; 18:12; 21:6)
Kehidupan Abraham dan Sara nampaknya tidak banyak berbeda dengan umat Allah pada zaman sekarang. Karena kemurahan Tuhan, Abraham dapat mengenal Allah yang sejati. Sepanjang hidupnya, Abraham berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Secara garis besar, perjalanan kehidupan kita sebagai manusia tidak jauh berbeda dengan Abraham. Mungkin, kita hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, baik karena studi atau pekerjaan kita. Setelah menjadi dewasa, kita menikah dan membentuk keluarga. Ada yang cepat beroleh anak, ada yang agak lambat mempunyai keturunan.
Serupa dengan Abraham, kesabaran kita pun mungkin diuji Allah. Menghadapi ujian itu, mungkin ada jemaat yang bersikap sama seperti Sara yang tertawa dan bertanya: Apa mungkin? Apa bisa? Bagi para suami, seperti halnya Abraham, kita juga menghitung dengan logika: Umur kita sudah mencapai seratus dan istri kita telah sembilan puluh tahun. Apakah masih mungkin mempunyai keturunan? Tertawa ini tentu bukanlah ungkapan rasa sukacita, tetapi lebih menunjukkan keraguan pada janji Allah.
Namun, tertawa Sara yang kedua berbeda. Kali ini, ia tertawa karena memperoleh hal yang sangat diharapkan, yaitu keturunan. Tertawa karena hati gembira, tertawa karena masalah telah selesai dengan baik. Tertawa karena iman kita tidak gugur merupakan sukacita yang sesungguhnya. Apakah Anda sudah tertawa hari ini karena menerima anugerah Allah?