SAUH BAGI JIWA
“Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa”—Yakobus 4:17
“Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa”—Yakobus 4:17
Pengamat atau bystander adalah seseorang yang berada di suatu kondisi atau peristiwa dan mengetahui berlangsungnya peristiwa tersebut, namun menolak untuk menjadi bagian dari peristiwa itu.
Bahkan menurut peneliti sosial psikologi, mereka yang masuk ke dalam kategori pengamat akan menimbang-nimbang untung ruginya sebelum mereka bertindak menolong orang lain. Dengan kata lain, dalam pikiran mereka, sesuatu di luar kepentingan mereka bukanlah bagian dari diri mereka sehingga mereka tidak merasa adanya keharusan untuk melakukan sesuatu.
Seperti seorang pengamat yang menimbang-nimbang untung ruginya saat melakukan suatu hal, Yudas Iskariot sudah menimbang-nimbang “untung ruginya” bersama-sama dengan Yesus dan murid-murid. Sebelum perjamuan malam tersebut, Yudas bersama dengan imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah sudah menimbang-nimbang “untung rugi” meninggalkan persekutuan dan mengkhianati Yesus dengan sejumlah uang yang sudah dijanjikan (Luk 22:4-6). Oleh karena itu, saat perjamuan malam, Yudas mengambil sikap sebagai seorang pengamat—tidak lagi peduli dengan Tuhan Yesus dan pengajaran-Nya maupun murid-murid-Nya, karena mereka bukan lagi bagian dari kepentingan Yudas.
Perihal kepedulian terhadap orang lain dan merasakan tanggung jawab dalam suatu perkumpulan ternyata juga pernah bersinggungan secara hukum. Cukup menarik bahwa ranah hukum di negara Amerika Serikat mengatur wajib tidaknya seseorang mempedulikan orang lain dan boleh tidaknya seseorang menjadi pengamat pasif untuk tidak melakukan apa-apa terhadap suatu peristiwa.
Sebut saja si John yang sedang berjalan dan melihat ada seorang buta yang tiba-tiba turun ke jalan raya dengan sebuah kendaraan melaju cepat menuju ke arahnya. John dapat menghentikan langkah si buta dengan cara meneriaki teriakan peringatan kepadanya—sesungguhnya tindakan demikian sama sekali tidak akan menghambat atau pun memperlambat perjalanan John. Namun, John memilih untuk membiarkan kecelakaan itu terjadi, hingga akhirnya si buta terluka parah. Apakah John bertanggung jawab terhadap kecelakaan orang tersebut?
Hampir di seluruh negara Eropa dan Amerika Latin, dan juga sebagian besar negara di Afrika, akan menjawab “ya” pada pertanyaan di atas. Pengamat yang melihat bahwa seseorang akan mengalami suatu kecelakaan bahkan kematian, memiliki tanggung jawab untuk melakukan sesuatu. Dan jika ia gagal untuk melakukannya, ia akan dikenakan sanksi, penalti atau pun hukuman pasal tertentu. Namun, di Amerika Serikat, tidak ada hukum yang mewajibkan seseorang untuk berbuat kebaikan atau pun menolong.
Berbanding terbalik dengan hukum di Amerika Serikat yang membebaskan warganya untuk boleh bersikap “masa bodoh” atas peristiwa yang terjadi dalam suatu komunitas, penulis kitab Yakobus dalam Perjanjian Baru secara tegas menyebutkan, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak. 4:17).
Meskipun hukum negara menyatakan bahwa warganya tidak berkewajiban untuk saling menolong dan saling peduli terhadap suatu peristiwa atau pun suatu komunitas, seharusnya sebagai manusia kita memiliki kewajiban moral untuk saling memperhatikan dan membantu. Saat kita melihat seseorang yang membutuhkan, apakah yang terlintas dalam pikiran kita? Apakah kita merasa kuatir bahwa pertolongan yang kita berikan akan merusak jadwal rencana kita? Apakah kita merasa bahwa tidak ada alasan sama sekali untuk bertindak, karena kita bukanlah bagian dari peristiwa dan komunitas itu—sehingga tidak ada kepentingan bagi kita untuk bertanggung-jawab?
Kiranya pengajaran firman Tuhan akan perbuatan baik bukan menjadikan kita sekedar pengamat saja, melainkan sebagai pelaku yang menjalankannya dalam kehidupan kita sehari-hari.