SAUH BAGI JIWA
“Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati”—Kisah Para Rasul 2:46
“Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati”—Kisah Para Rasul 2:46
Penulis Kisah Para Rasul bahkan mencatatkan bagaimana jemaat mula-mula juga berkumpul, makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah (Kis 2:46-47). Dalam kehidupan bergereja, kitapun juga demikian. Selain mengikuti ibadah, persekutuan ataupun kelas pemahaman Alkitab, kita juga berkumpul untuk makan bersama.
Namun, mungkin saja kita bertanta-tanya dalam hati, “Bukankah kita ke gereja untuk menerima makanan rohani? Bukankah kita bisa makan dan minum di rumah sendiri?”
Persoalan berkumpul dan makan, memiliki pengertian yang serupa dengan ungkapan “makan untuk hidup atau hidup untuk makan.” Frase “berkumpul untuk makan” menitik-beratkan pada perbuatan ber-kumpul bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan, yaitu: makan. Sedangkan “makan untuk berkumpul” menekankan pada perbuatan makan agar tujuan akhir untuk berkumpul bersama-sama dapat tercapai.
Dalam kehidupan bergereja, seharusnya “makan untuk berkumpul” menjadi sebuah wadah atau instrumen bagi sesama saudara/i seiman dan teman-teman di dalam Tuhan untuk berkumpul bersama-sama saling memperhatikan, menanyakan kabar masing-masing dan saling bertukar pengalaman hidup. Namun, tidak jarang pula, kehidupan bergereja menjadi suatu formalitas belaka sehingga kita datang beribadah dan “berkumpul untuk makan”—berlomba untuk mendapatkan hidangan terlebih dahulu agar tidak kehabisan, lebih mementingkan untuk menikmati hidangan yang ada di piring dibandingkan dengan mengorbankan waktu untuk berbincang-bincang dengan jemaat yang belum kita kenal secara dekat.
Meskipun jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul berkumpul dan makan bersama-sama (Kis 2:46-47), rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus memberikan peringatan keras tentang makan dan minum di saat berkumpul. Bahkan rasul Paulus mengomentari tentang sebuah kasus yang menimpa jemaat di Korintus—bahkan tidak sedikit yang meninggal akibat perkumpulan makan dan minum mereka (1 Kor 11:30). Mengapa demikian?
Padahal mereka berkumpul sebagai jemaat, dan mereka sering mengadakan pertemuan-pertemuan. Tetapi, dengan tegas, rasul Paulus langsung mengungkapkan bahwa pertemuan-pertemuan mereka justru mendatangkan keburukan. Sebab, ketika mereka berkumpul sebagai jemaat, perpecahan di antara mereka terjadi. Mereka juga bukan berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan, melainkan memakan dahulu makanannya sendiri sehingga ada yang lapar dan ada yang mabuk. Terlebih lagi, dalam perkumpulan tersebut, mereka memalukan orang-orang yang tidak memiliki apa-apa (1 Kor 11:17-22).
Dengan kata lain, memang mereka saling berkumpul; tetapi perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan justru bertolak belakang dari apa yang telah dilakukan oleh jemaat mula-mula—berkumpul, makan bersama, berdoa sambil memuji Tuhan dengan gembira dan kesatuan hati. Sebaliknya, jemaat di Korintus berkumpul dan memusatkan diri pada keegoisan mereka sendiri—ada yang datang untuk makan semata-mata karena ingin mengenyangkan perut mereka sendiri, tidak peduli apakah yang lain masih lapar; dan ada yang datang makan sambil memuaskan hawa nafsu hingga mereka menjadi mabuk. Ada pula yang datang berkumpul untuk makan, sambil menyombongkan diri dan menghina serta memalukan jemaat lain yang berkekurangan.
Kegiatan makan bersama di gereja sepertinya adalah hal yang sepele. Namun, kegiatan tersebut jika dilakukan dengan ketulusan hati dan penuh kasih, dapat menjadi suatu wadah yang memberi kehangatan di antara para jemaat dengan latar belakang yang berbeda.