SAUH BAGI JIWA
Penulis Injil Yohanes menekankan bahwa Tuhan Yesus sering berkumpul bersama murid-murid di taman Getsemani. Selain untuk beristirahat, mereka juga menggunakan taman itu untuk bersekutu dan berdoa. Namun, murid-murid justru tidak menyangka bahwa malam itu adalah malam terakhirnya mereka dapat bersama-sama berkumpul bersama-Nya. Sebab tidak lama kemudian, Yesus akan dikhianati dan ditangkap untuk diadili dan dijatuhkan hukuman mati.
Keempat Kitab Injil mencatatkan kebersamaan Tuhan Yesus bersama dengan murid-murid-Nya. Ia makan bersama dan beristirahat bersama. Bahkan saat imam-imam kepala dan orang-orang Farisi sepakat untuk mencelakai Yesus, Ia pindah ke sebuah kota dan tinggal bersama-sama dengan murid-murid-Nya (Yoh 11:54). Mereka menjalani kehidupan bersama-sama dalam suka maupun duka.
Menjelang penangkapan Tuhan Yesus dan pengkhianatan yang dilakukan Yudas pun, murid-murid tetap bersama-sama dengan-Nya. Salah satu murid bahkan membela-Nya, memutuskan telinga hamba Imam Besar dengan pedang. Tetapi mereka tidak menyangka bahwa Yesus menegur mereka, menyembuhkan telinga hamba yang putus itu dan menyerahkan diri-Nya tanpa perlawanan.
Sesaat sebelum ditangkap pun, Yesus menegaskan agar kiranya mereka yang menangkap diri-Nya dapat membiarkan murid-murid pergi (Yoh 18:8). Dari hal inilah Yesus ingin menunjukkan arti kebersamaan yang telah mereka lalui selama ini. Kebersamaan Yesus bukanlah kebersamaan yang egois ataupun mementingkan diri sendiri. Yesus sama sekali tidak menuntut murid-murid untuk ditangkap dan diadili bersama-sama Dia. Yesus rela mengorbankan diri-Nya sendiri demi menggenapkan kehendak Bapa di Surga; agar setelah peristiwa itu berlalu, mereka dapat bangkit kembali menguatkan sesama saudara-saudari seiman.
Hari ini, pelajaran apakah yang dapat kita teladani dari kebersamaan Tuhan Yesus dengan murid-murid? Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Rasul Paulus pernah mengingatkan agar kiranya jemaat dapat bersukacita bersama dengan orang yang sedang bersukacita, dan menangis bersama dengan orang yang sedang menangis (Rom 12:15).
Mengapa kebersamaan dalam penderitaan atau kesusahan kadangkala terasa lebih sulit dibandingkan dalam sukacita? Seringkali kita mengartikan kebersamaan sebagai kegiatan outing atau outbond—rekreasi beramai-ramai yang disertai dengan permainan, persekutuan dan makan bersama. Namun, ketika saudara-saudari seiman kita mengalami suatu masalah, dapatkah kita turut merasakan kepedihannya? Jika terjadi perbedaan pendapat dengannya, masih tetapkah kita menerimanya bersama-sama dalam persekutuan untuk saling mengasihi dan menasihati?
Selain itu, kebersamaan yang tidak mementingkan diri sendiri adalah kebersamaan yang sehati dan sepikir dengan kehendak Allah—termasuk saat kita mendapat teguran atas kesalahan kita, dan kita menanggapinya dengan rendah hati; atau saat kita dengan bersandar hikmat Allah berusaha untuk memberikan masukan atas kekurangan saudara-saudari seiman, kita melakukannya dengan penuh kasih dan pengertian.
Kebersamaan Yesus dengan murid-murid yang dicantumkan dalam Injil Yohanes merupakan perbandingan yang bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh Yudas Iskariot. Mungkin ada perasaan kecewa bercampur dengan sakit hati dalam diri Yudas, terutama saat ia ditegur oleh Tuhan Yesus perihal uang. Puncaknya adalah ketika hatinya dirasuk oleh Iblis dan ia memilih untuk meninggalkan persekutuan dan kebersamaannya dengan Yesus serta murid-murid. Secara fisik, Yudas tidak lagi bersama-sama dengan mereka. Secara rohani, ia tidak lagi sehati dan sepikir di dalam persekutuan Allah.
Kiranya Roh Kudus-Nya membimbing kita agar kita dapat memahami dan melakukan kebersamaan yang sejati—bersama-sama dengan Tuhan dan gereja-Nya baik dalam suka maupun duka, teguran maupun nasihat.