SAUH BAGI JIWA
Sejak tahun 2014 lalu, dunia sempat dihebohkan dengan penyerangan Rusia terhadap Ukraina – salah satu negara yang mendapat kemerdekaan setelah runtuhnya pemerintahan Uni Soviet. Demi mempertahankan kedaulatan negaranya, para pejabat Ukraina yang berwenang menyerukan hukuman bagi para pengkhianat. Sulit memang untuk menerima sebuah pengkhianatan—apalagi dari sesama saudara setanah air yang sudah tinggal bersama-sama selama bertahun-tahun, tetapi akhirnya berubah menjadi pihak yang bertentangan.
Yudas Iskariot adalah salah satu dari dua belas murid yang telah dipilih oleh Tuhan Yesus sejak awal pelayanannya. Ia sudah bersama-sama dengan Yesus dan murid-murid, baik dalam melakukan pekerjaan pelayanan bersama-sama maupun dalam mendengarkan berbagai macam pengajaran yang telah disampaikan-Nya, kurang lebih tiga tahun lamanya. Namun, pada akhir masa pelayanan Tuhan Yesus, Yudas justru mengkhianati-Nya—seolah-olah kedekatannya bersama Yesus selama tiga tahun itu sia-sia belaka.
Pilihan Yudas untuk mengkhianati Yesus sungguh ironis. Padahal Yesus telah mempercayainya; bukan hanya sebagai seorang bendahara—yang kemudian juga Yudas salahgunakan kepercayaan itu—melainkan juga sebagai seorang murid—yang telah diberi kuasa untuk menyembuhkan yang sakit, mengusir setan, bahkan diutus untuk mengabarkan berita keselamatan dan dipilih untuk menyertai-Nya bersama-sama menjadi rekan sekerja Yesus—yang justru kemudian Yudas tinggalkan.
Kata kerja “berkhianat” dalam bahasa asli memiliki nuansa makna yang berbeda seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, dalam bahasa Yunani kata “mengkhianati” secara harfiah memiliki makna “memberikan” atau“mempercayai,” seperti halnya dalam konteks perumpamaan seorang tuan yang mempercayakan lima talenta kepada hambanya (Mat 25:20-22). Di sisi lain, kata “mengkhianati” berarti “menyerahkan,” seperti halnya Yudas menyerahkan Yesus kepada imam-imam kepala, tua-tua dan kepala-kepala pengawal Bait Allah (Luk 22:48-52).
Dengan kata lain, dalam konteks Yohanes 18:2, pengkhianatan Yudas mengandung arti bahwa ia telah menyerah—Yudas sudah tidak lagi berada di jalan Tuhan. Ia menyerah pada Injil keselamatan. Ia menyerah pada tugas dan kepercayaan yang telah diberikan Yesus kepadanya.
Cukup menarik bahwa pengkhianatan yang dilakukan Yudas, di dalam struktur bahasa Yunani, memiliki nuansa waktu yang berkelanjutan, bersamaan dengan peristiwa lain. Artinya, Yudas tahu di mana tempat berkumpulnya Yesus dan murid-murid bersekutu dan berdoa; namun pada saat yang bersamaan, Yudas juga sedang berkhianat—menyerah pada kerasulan yang telah Yesus percayakan pada dirinya. Sungguh ironis!
Apa yang terjadi pada Yudas, sesungguhnya dapat terjadi pada diri kita juga. Jika kita menjadi lengah secara rohani, meskipun kita masih aktif dan giat bersekutu, rasa untuk “berkhianat” atau “menyerah” pada tugas pelayanan ataupun pada iman juga dapat bertumbuh, menanamkan dirinya dalam hati kita.
Pada hari ini, pengkhianatan Yudas menjadi peringatan tersendiri bagi kita. Sama seperti Tuhan Yesus telah mempercayakan tugas pelayanan-Nya kepada Yudas, Ia juga telah mempercayakan pelayanan-Nya kepada kita.
Lalu, bagaimanakah mungkin kita berkhianat terhadap Tuhan? Salah satunya adalah ketika kita menganggap bahwa talenta atau kelebihan yang Tuhan telah berikan pada kita adalah suatu hal yang “memang sudah seharusnya,” “sebagaimana mestinya.” Sikap yang demikian, secara perlahan justru akan membuat kita merasa bahwa dunia begitu membutuhkan talenta kita dibandingkan dengan gereja-Nya.
Tanpa sadar, kesuksesan dan kenyamanan yang kita nikmati akhirnya membuat kita untuk “menyerahkan” Yesus dan tugas pelayanan-Nya pada kesibukan kita di dalam mempergunakan talenta kita untuk dunia. Padahal kita sudah dipanggil oleh-Nya untuk menjadi rekan sekerja-Nya. Tetapi pada akhirnya, kita justru menjadi pihak yang menyerahkan-Nya. Biarlah peristiwa Yudas senantiasa menjadi peringatan tersendiri dalam kehidupan kerohanian kita.