SAUH BAGI JIWA
“Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan“
“Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan“
Dalam kutipan ayat di atas, pemazmur mencatatkan kata “marah” berulang-ulang. Apa yang dicatatkan oleh pemazmur sesungguhnya mencerminkan pergumulan hati yang ia alami juga. Mengapa pemazmur menyuruh kita untuk meninggalkan panas hati? Kemarahan yang terus dipendam sewaktu-waktu dapat meledak, membuat kita tidak dapat berpikir secara sehat sehingga tindakan yang kita lakukan karena luapan emosi pun dapat memberikan akibat yang buruk.
Mengapa kita marah? Mungkin saja karena kita pernah diperlakukan secara tidak adil sehingga kita merasa perlu bertindak untuk mendapatkan keadilan bagi diri kita. Atau kita merasa dikhianati orang yang padahal pernah kita tolong. Apalagi kehidupan orang yang mengkhianati itu justru baik-baik saja, sehingga kita menjadi semakin panas hati. Akibat hati yang penuh amarah, damai sukacita menjadi hilang.
Sang penulis Amsal pernah menasihati, “Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan. Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang” (Ams 14:29-30). Kemarahan dan keirihatian bagaikan sel kanker yang menyebar dan merusak organ-organ tubuh. Jika semakin dipendam, dibiarkan, lama-kelamaan akan semakin menjalar sehingga damai sejahtera di hati pun pudar. Secara jasmani, ketika emosi terus mengganjal, makan terasa tidak enak dan tidur pun tidak pulas.
Sang pemazmur mengingatkan bahwa kemarahan yang terus dibawa-bawa sesungguhnya menjerumuskan kita pada kejahatan. Misalnya saja di jalan raya, saat berkendara tiba-tiba saja disalip oleh pengemudi lain sambil ia mengeluarkan kata-kata kasar dan makian. Jika amarah kita meluap, merasa tidak terima; rasa ingin membalas timbul. Balap-balapan dan kejar-kejaran di jalan raya pun tak terelakkan. Kendaraan dipepet, berlanjut ke perdebatan mulut sampai pada perkelahian dengan tangan kosong. Orang yang mahir bela diri tentulah yang menjadi pemenang. Sedangkan yang kalah bertarung, bisa terjatuh dengan kepala terbentur trotoar. Jika orang itu sampai meninggal, kitalah yang akan dituntut pertanggung-jawaban–meskipun awalnya orang itu yang berbuat salah pada kita. Namun, pada akhirnya–tanpa sadar–kitalah yang berbuat lebih jahat dari orang tersebut.
Terhadap kemarahan, sang pemazmur telah mengingatkan kepada kita untuk menyerahkan hidup kita kepada Tuhan dan percayakanlah kepada-Nya bahwa Ia akan bertindak (Mzm 37:5). Apakah maksudnya menyerahkan hidup dan mempercayakan tindakan-Nya? Artinya, kita menahan diri dan emosi, tidak bertindak sendiri dan percaya bahwa Tuhan tetap bekerja meskipun kita tersakiti. Membiarkan emosi meledak-ledak pun tidak menyelesaikan masalah, seringkali memperburuk situasi. Tanpa sadar, perkataan yang dilontarkan dalam kemarahan bagaikan pisau yang menusuk, menyakiti hati orang. Janganlah kita bertindak seolah kita di posisi Tuhan yang berhak memberikan hukuman.
Justru saat kita dapat menenangkan diri, mempercayakan segala sesuatunya ke tangan Tuhan dan taat bahwa pembalasan adalah hak Tuhan, maka di saat itulah Tuhan bekerja dan pimpinan-Nya beserta. Sang pemazmur dalam pasal 37 menegaskan bahwa Ia akan membawa damai sejahtera kepada siapa yang berpengharapan dan menopang mereka yang mempertahankan kebenaran. Jangan sampai janji-janji Tuhan terhalangi oleh sulutan emosi yang tak terkendali. Hendaknya kita dapat saling mengingatkan agar tidak terpancing bujukan dosa melalui kemarahan dan panas hati.