SAUH BAGI JIWA
Hujan rintik-rintik, semakin lama semakin deras dan dengan cepat membasahi halaman depan rumahku. Sebenarnya hari ini aku sudah berencana untuk datang ke acara yang sedang diadakan oleh sekolah bersama-sama dengan ibu. Tetapi sampai sekarang ibu sama sekali belum datang juga, padahal acara tersebut sudah dimulai.
Dengan rasa kesal dan jengkel, aku segera menelpon ibu yang sedang berada di toko dan mengingatkannya kembali akan acara sekolah tersebut. Tetapi alangkah terkejutnya aku, ketika ibu justru berbalik bertanya apakah aku sungguh-sungguh ingin hadir dalam acara itu meskipun hujan masih deras. Mendengar jawaban demikian, hatiku semakin panas. Tanpa berkata-kata, aku langsung membanting pegangan telepon tersebut dengan keras.
Sepintas hati kecilku merasa tidak nyaman karena telah berlaku kasar terhadap ibu. Dan tiba-tiba saja aku teringat bagaimana pagi itu, dan pagi-pagi sebelumnya, ibu harus bangun lebih awal membereskan pekerjaan rumah dan kemudian berangkat ke toko di bawah derasnya air hujan. Sungguh, pagi hari yang lembab dan melelahkan bagi ibu. Tidak seharusnya aku marah pada ibu.
Meskipun demikian, terlintas lagi dalam pikiranku: Bukankah ibu dapat memberitahuku jika ia memang sibuk dan tidak dapat mengantarku? Kemarahan dalam hatiku kembali meluap sama seperti jatuhan air hujan yang semakin deras dan bergemericik di atas atap rumahku. Tiba-tiba aku melihat sosok wanita setengah baya yang sedang berpayung, dengan tergesa-gesa menuju ke arah pintu gerbang rumahku. Ibuku sudah pulang. Sejenak, terbayang dalam pikiranku bagaimana aku ingin memarahi ibu dengan kata-kata yang sudah kusiapkan, supaya membuat ibu sadar akan kesalahan yang telah dilakukannya.
Namun, dari dalam aku memperhatikan raut wajah ibu yang letih dan basah; sebagian dari pakaiannya yang sudah basah terkena air hujan dan sepatunya yang sudah terkena percikan lumpur. Kelihatannya ibu, di bawah hujan deras tadi, dengan tergesa-gesa hendak kembali ke rumah; mungkin setelah peristiwa aku membanting pegangan telepon itu. Rasa penyesalan timbul dari dalam hatiku. Amarah yang telah kupersiapkan sejak tadi untuk ibu sedikit mulai memudar.
Dengan sedikit rasa kesal yang masih menempel di hati, aku keluar ke halaman rumah untuk menghampiri ibu. Ketika ibu melihatku, ia langsung berkata bahwa ia akan mengantarku ke sekolah. Rupanya ibu benar-benar meninggalkan toko dan segera pulang ke rumah untuk menemaniku! Rasa tidak nyaman menggeluti perasaanku. Mengapa tadi aku bersikap kasar terhadap ibu? Rasa penyesalan yang sama berdegup kembali di hati kecilku. Aku merasa bersalah. Bersalah pada ibuku dan terlebih lagi, kepada Tuhan.
Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan pada ibu. Masih berada di bawah rintikan hujan yang membasahi pakaianku, akhirnya dengan suara rendah dan perlahan, aku menjawab, ”Acara sekolah itu jika tidak dihadiri juga tidak mengapa. Lagipula, hari juga masih hujan.” Ibu terdiam sejenak.Aku sedikit tertunduk, dengan pasrah memandangi halaman rumah yang dibasahi rintikan hujan yang sudah mulai mereda.
Tetapi kemudian, dengan rautan wajahnya yang letih, ibu hanya tersenyum. Senyuman yang murni dan penuh kasih sayang. “Ya sudah, masuk saja ke dalam. Nanti kehujanan kamu bisa sakit,” balas ibu. Sambil memayungiku, kami berdua bersama-sama masuk ke dalam rumah. Di luar, hujan sudah berhenti dan tetesan air hujan dari atap rumahku satu per satu dengan perlahan berjatuhan, memerciki genangan air di halaman rumahku.