SAUH BAGI JIWA
“Ketika disebutnya tabut Allah itu, jatuhlah Eli telentang dari kursi di sebelah pintu gerbang, batang lehernya patah dan ia mati. Sebab telah tua dan gemuk orangnya. Empat puluh tahun lamanya ia memerintah sebagai hakim atas orang Israel“
“Ketika disebutnya tabut Allah itu, jatuhlah Eli telentang dari kursi di sebelah pintu gerbang, batang lehernya patah dan ia mati. Sebab telah tua dan gemuk orangnya. Empat puluh tahun lamanya ia memerintah sebagai hakim atas orang Israel“
Secara fisik, semakin lanjut usia seseorang, kekuatan fisik pun perlahan menurun–termasuk pula kekuatan otot dan tulang. Tidak jarang, saat seseorang mencapai usia setengah baya, lutut terasa sakit saat turun-naik tangga. Pinggang dan bagian tulang belakang pun terasa nyeri, saat mengangkat beban berat. Jika tidak sengaja lalu terjatuh, hal tersebut seringkali menyebabkan keretakan tulang bahkan patah tulang! Oleh karena itu, kita sering mendengar nasihat, “orang tua jangan sampai terjatuh.” Namun, bagaimana jika seseorang terjatuh secara rohani?
Imam Eli adalah seorang imam dan hakim bagi bangsa Israel. Setelah menjabat sekian lama, dia pun menjadi tua. Peringatan apakah yang dapat kita pelajari dari masa tua Imam Eli, sehingga kita dapat menjadi lebih waspada secara rohani?
Ketika Imam Eli mencapai usia 98 tahun, matanya dikatakan sudah bular –yang berarti lensa matanya buram, sehingga dia tidak dapat melihat dengan jelas. Berbeda dengan Musa yang berusia 120 tahun tapi dikatakan matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang (Ul 34:7).
Ternyata bukan hanya mata jasmani, mata rohani Imam Eli juga sudah bular– sebab dia sudah tidak dapat membedakan antara orang yang berdoa dan orang yang sedang mabuk (1 Sam 1:13-15). Selain itu, dia juga tidak melakukan penyempurnaan rohani dan tidak dapat mendidik anak-anaknya untuk takut akan Tuhan. Dari kisah Imam Eli ini, kita bisa belajar bahwa meskipun kekuatan fisik manusia lahiriah kita memang akan menurun seiring bertambahnya usia, manusia batiniah perlu diperbaharui dari sehari ke sehari (2 Kor 4:16). Artinya mata rohani kita harus semakin tajam dan jangan sampai menjadi bular.
Di masa Imam Eli, orang Israel terus menerus melakukan kesalahan bahkan membuat tabut Allah dirampas oleh orang Filistin. Tabut Allah melambangkan penyertaan Tuhan. Ketika bangsa Israel membawa tabut Allah, maka kemenangan ada pada pihak bangsa Israel. Namun, pada masa tua Imam Eli ini, penyertaan Tuhan tidak ada pada mereka. Secara jasmani, bangsa Israel membawa tabut Tuhan, tetapi kerohanian anak-anak Imam Eli begitu bobrok sehingga menyebabkan bangsa Israel melakukan pelanggaran. Ditambah lagi, pemimpin mereka yang jauh daripada Tuhan. Dengan demikian, penyertaan Tuhan tidak lagi bersama mereka.
Imam Eli yang bertubuh gemuk meninggal karena jatuh dan batang lehernya patah. Badan gemuk bukan masalah sesungguhnya. Masalah sebenarnya adalah sikapnya yang menggemukkan diri (1 Sam 2:29). Imam Eli lebih mementingkan dirinya dan keluarganya, tanpa memikirkan kemajuan rohani bangsa Israel. Sikap fatal ini tidak boleh kita miliki. Sebagai umat Tuhan dan mungkin sedang memegang peranan dalam pelayanan kudus, hendaknya kita dapat mengasihi sesama saudara-saudari seiman. Tuhan mengingatkan bahwa hukum terutama ialah kasih dan salah satu contoh bentuk kasih adalah tidak mementingkan diri sendiri.
Oleh sebab itu, marilah kita bersama-sama memperhatikan pertumbuhan iman sesama saudara-saudari, kemajuan gereja dan penyebaran injil Tuhan kepada mereka yang masih berada di bawah kuasa dosa. Di saat yang bersamaan, hendaklah kita senantiasa mengevaluasi kerohanian kita agar jangan sampai kita lengah sehingga terjatuh secara rohani. Amin.