SAUH BAGI JIWA
Setiap tahun selalu dilakukan pembagian hadiah untuk semua murid kelas pendidikan agama di gereja dan diadakan pertunjukan untuk menyambut tahun ajaran baru. Saya mengenang kejadian pada saat saya menjabat sebagai guru jenjang Sekolah Dasar. “Ah! Dia adalah anak yang bermasalah,” “dulu waktu di kelas jenjang Taman Kanak-Kanak ia suka berbicara, tidak bisa diam,” demikian obrolan beberapa guru saat membahas murid tertentu.
Setiap bulan kami sebagai guru kelas pendidikan agama selalu mendengarkan laporan singkat dari guru-guru lain, untuk mengetahui seperti apa sifat anak-anak di dalam kelas. Guru harus mengetahui perkembangan anak-anak secara keseluruhan dan harus mencari akal untuk menghadapinya. Pada umumnya anak-anak yang “bermasalah” ini, penampilannya tidak mengecewakan, meskipun nakal dan memusingkan.
Untuk menghadapi mereka, guru harus banyak akal. “Kalau semua orang sudah menganggap saya demikian, buat apa saya berubah?” “Saya pernah berusaha! Tapi tidak ada yang mau bersama saya lagi,” Itulah jeritan-jeritan suara hati mereka, jeritan sang domba kecil!
Usia begitu muda, namun sudah mengerti rasanya ditolak. Mereka sudah memahami bagaimana rasanya diabaikan, mereka adalah anak-anak yang telah “diberi tanda” oleh guru-guru mereka sendiri. Bagaimanapun kerasnya usaha mereka, tidak akan merubah pandangan orang terhadap mereka.
Mungkin mereka adalah ‘domba golongan minoritas’, tetapi Allah tetap mengasihi mereka. Ia rela meninggalkan sembilan puluh sembilan domba-Nya untuk mencari seekor domba yang sesat. Kadangkala, murid “diberi tanda” dengan tujuan untuk memudahkan pengaturannya. Namun, dalam pelaksanaannya, tidak jarang “tanda” tersebut telah merampas kesempatan anak-anak untuk berubah.
Dalam Alkitab ada sebuah kisah serupa: “Maka bersungut-sungutlah orang Yahudi tentang Dia, karena Ia telah mengatakan: ‘Akulah roti yang telah turun dari sorga.’ Kata mereka: ‘Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapanya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: Aku telah turun dari sorga?’ ” (Yoh 6:41-42). Betapapun Yesus melakukan mukjizat, memberikan pengajaran penuh kuasa, hal itu tidaklah penting bagi orang Yahudi. Di dalam hati mereka, Tuhan Yesus adalah anak biasa dari seorang tukang kayu, dan kesan itu melebihi semuanya.
Memandang orang tidak boleh dari penampilan luarnya saja. Kesan kita terhadap anak-anak yang kurang baik penampilannya, apakah sama seperti kesan orang Yahudi terhadap Tuhan Yesus?
Hari pertama dalam pelajaran pertama di tahun ajaran baru, saya memberitahu mereka: “Kelakuan kalian di masa lalu tidaklah penting, kalian yang sekarang dan yang di kemudian hari itu yang penting dan perlu dibina dengan baik. Sebab di dalam hati kami, setiap guru, kalian sama seperti sehelai kertas putih. Warna apa yang kami berikan, itulah warna yang berada di dalam kalian”.
Kadangkala mereka masih tidak tertib, tetapi kita akan melihat betapa keras usaha dan giatnya mereka. Berilah mereka kesempatan, dan berilah kebahagiaan bagi diri sendiri. “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya”, inilah suara hati Yesus, gembala baik, Ia selalu memberikan kesempatan bagi kita yang lemah untuk bangun kembali.
Kasih berpengharapan, menaruh harapan dalam segala hal. Oleh karena itu Ia memberi kesempatan kepada Petrus yang telah menyangkal tiga kali untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Kiranya kita memberikan sebuah pensil warna kepada anak, agar kertas putih di dalam hati kita diwarnai oleh mereka, bukan hanya dengan kegagalan, tetapi juga dengan pelangi yang terdiri dari air mata, usaha dan perubahan anak-anak kita.