SAUH BAGI JIWA
[su_icon icon=”icon: calendar” color=”#d19636″ size=”18″ shape_size=”4″ radius=”36″] Renungan Tanggal: 10 Jul 2023
“Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan…“
“Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan…“
Saat berbeban berat dan mengalami berbagai macam kesulitan dalam hidup, sesungguhnya sulit bagi seseorang untuk menengadah dan melihat ke atas. Dalam kondisi demikian, kita cenderung untuk menunduk dan melihat ke bawah, hanya berpusat pada masalah yang sedang melanda.
Suatu kali saat sedang mempersiapkan pelajaran tentang nabi Yeremia untuk kelas Pendidikan Agama di gereja, saya mengeluarkan sebuah map yang berisikan catatan-catatan khotbah ataupun seminar yang pernah dibawakan tentang Yeremia.
Ada sebuah paragraf yang pernah saya garis bawahi dengan pulpen warna merah, yang berbunyi sebagai berikut:
Yeremia dikenal juga sebagai “nabi yang menangis,” yang menjadi ciri khas serta kata kunci dari kitab Yeremia. Dia penakut pada awalnya, tetapi menjadi tidak gentar dan berani mengambil keputusan untuk tetap berharap pada Tuhan.
Kemudian, di sebelahnya ada komentar tambahan dari perenungan pribadi saya:
Jangan fokus pada beban kesulitan dari penderitaan itu sendiri. Fokus pada Tuhan yang akan membimbing jalan hidup kita. Lihatlah ke atas!
Dalam kehidupan bergereja, kadang kita pernah merasa takut dan trauma dengan berbagai pekerjaan pelayanan. Mungkin kita pernah merasa kewalahan dan lelah. Mungkin kita pernah melakukan suatu kesalahan. Mungkin kita pernah ditegur dan dikritik. Semua hal itu bisa membuat kita menjadi takut dan trauma di dalam melayani.
Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Mungkin kita pernah ditipu orang dalam bisnis. Mungkin kita pernah dirugikan orang lain. Mungkin kita pernah dicemooh dan dihina orang. Tekanan demi tekanan dapat membuat kita menjadi takut dan trauma akan hidup itu sendiri.
Tidak jarang, trauma akan penderitaan yang disimpan secara terus-menerus bukan hanya akan “memakan” diri kita dari dalam, melainkan juga membuat kita mulai mempertanyakan pertolongan-Nya dan kasih-Nya kepada kita.
Dalam kepedihan doanya, nabi Yeremia pernah mengutarakan isi hatinya kepada Tuhan, “Mengapakah kami Kaupukul sedemikian, hingga tidak ada kesembuhan lagi bagi kami? Kami mengharapkan damai sejahtera, tetapi tidak datang sesuatu yang baik” (Yer 14:19).
Namun, di dalam kesedihan dan kekecewaan hatinya, nabi Yeremia berpegang pada satu hal: “Hanya Engkau saja, ya TUHAN Allah kami, Pengharapan kami… ingatlah aku dan perhatikanlah aku” (Yer 14:22, 15:15).
Pergumulan yang dihadapi nabi Yeremia mengajarkan kita dua hal: Kita biarkan rasa takut, kecewa dan trauma dalam hati hingga akhirnya menenggelamkan diri kita sendiri; atau, kita melihat ke atas serta menjadikan itu semua sebagai batu loncatan bagi kita untuk bangkit naik ke atas.
“Berpengharapan pada Tuhan” atau dalam terjemahan versi bahasa Inggrisnya, “menunggu Tuhan,” bukan berarti kita secara pasif menjadi pasrah tidak melakukan apa-apa, membiarkan diri semakin larut diterpa penderitaan dan rasa kecewa itu sendiri. Berpengharapan bukan berarti Tuhan secara ajaib dan instan menghilangkan masalah kita.
“Menunggu” merujuk pada berjalannya proses dan waktu. Dalam masa penderitaan, kita diterpa oleh masalah. Namun, itulah proses bertumbuh menuju kedewasaan, yaitu saat kita bisa menerima bahwa kenyataan hidup yang kita jalani berbeda dengan apa yang kita harapkan. Di saat itulah rasa kesombongan dan tinggi hati kita di dalam menentukan jalan hidup kita sendiri mulai terkikis, sehingga muncul manusia baru dengan hati yang lebih lembut untuk bersandar dan taat pada pimpinan-Nya.