SAUH BAGI JIWA
“Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku“
“Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku“
Saya sangat menikmati membaca kolom olahraga yang menceritakan kepahlawanan dan ketenangan dari Philip Rivers, gelandang muda tim bola sepak Amerika, San Diego Charger. Ada kalimat pujian dari kepala pelatihnya yang menarik perhatian saya, sebab pujian tersebut mengingatkan saya pada percakapan saya dengan seorang pendeta di suatu musim panas:
“Kualitas terbaik dari Philip Rivers adalah dia tidak pernah memikirkan kemenangan permainan sebelumnya,” kata Schottenheimer. “Menurut saya, kualitas itulah yang membuat Rivers, seorang pemain gelandang bola sepak, menjadi seorang legendaris. Ketika permainan sebelumnya sudah ia menangkan, ia tidak terperangkap pada kesuksesan kemenangannya.”
Dari sini, ada satu hal penting yang dapat kita renungkan, “Jika dalam pertandingan olahraga, kesuksesan paling baik dapat dicapai jika kita melupakan kemenangan terakhir, bagaimana halnya dengan pertandingan di dalam kehidupan rohani kita?”
Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi menuliskan beberapa catatan penting, yaitu: “aku melupakan apa yang telah dibelakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku.” Gaya bahasa rasul Paulus sesungguhnya bagaikan seseorang yang sedang melakukan pertandingan olahraga. Kata “di belakang” dalam bahasa Yunani umumnya digunakan juga untuk merujuk pada perlombaan lari dengan lintasan lari yang telah dilalui. Dengan kata lain, jika sang pelari menoleh ke belakang, ia dapat melihat betapa jauhnya ia sudah melintas dan hampir sedikit lagi mencapai garis akhir.
Namun, uniknya, Rasul Paulus menekankan bahwa “aku melupakan apa yang telah dibelakangku.” Kata “melupakan” disini memiliki nuansa “mengabaikan” atau “tidak memikirkan secara terus-menerus.” Mengapa sang rasul ingin melupakan apa yang dibelakangnya? Hal apa yang sesungguhnya tidak ingin dipikirkan secara terus-menerus?
Dalam ayat yang sama, sang rasul menjelaskan bahwa ia sendiri tidak menganggap bahwa ia telah menangkapnya. Menangkap apa? Kemuliaan pengenalan akan Kristus, kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya untuk menjadi sempurna di dalam kuasa kebangkitan di antara orang mati (Fil 3:8-11). Meskipun demikian, Rasul Paulus dengan tegas menekankan bahwa ia masih sedang mengejar kesempurnaan-Nya secara terus-menerus melalui penantian kedatangan Tuhan Yesus dan tidak menjadi seteru salib Kristus. Inilah yang dimaksudkan Rasul Paulus dengan “mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku.”
Demikian pula halnya dengan kita pada hari ini, kita melupakan hal-hal yang ada di belakang, agar kita dapat mencapai hal-hal yang ada di depan.
Lupakanlah hal-hal negatif seperti halnya—kekecewaan, kegagalan, keputus-asaan, kebencian, kemarahan—yang jika dipikirkan secara terus-menerus justru akan mengecilkan hati atau bahkan membuat hati kita menjadi tawar untuk dapat maju melangkah ke depan.
Lupakanlah hal-hal positif seperti halnya—pencapaian, kemenangan, keberhasilan, kesuksesan, pujian, penghargaan—yang jika dipikirkan secara terus-menerus justru akan membuat kita merasa bangga, menjadi sombong sehingga merasa diri kuat dan teguh sehingga akhirnya kita jatuh.
Dalam segala hal, yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Tentu saja, kita boleh belajar dari pengalaman masa lalu. Namun, pada akhirnya, biarkanlah keberhasilan dan kesuksesan yang telah lewat itu berada di belakang kita, bukan di depan.