SAUH BAGI JIWA
“Lalu merekapun menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus?“
(Matius 25:44)
“Lalu merekapun menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus?“
(Matius 25:44)
Pada penghakiman terakhir, Anak Manusia akan memisahkan semua bangsa yang dikumpulkan seorang daripada seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing. Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing disebelah kiri-Nya (Mat. 25:31-33).
Mereka yang dipisahkan disebelah kiri akan masuk ke tempat siksaan kekal, bukan ke dalam hidup yang kekal, sebab mereka tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan untuk Tuhan (ayat 45-46). Hal apakah yang seharusnya mereka lakukan? Contohnya saja, seseorang yang lapar perlu diberi makan. Untuk memberi makan, perlu memasaknya terlebih dahulu. Mempersiapkan bahan makanan serta mengolahnya. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu pekerjaan yang melelahkan. Itulah sebabnya, semakin lama, makanan cepat saji dan makanan beku semakin laris. Peminat terhadap makanan cepat saji sungguh banyak bahkan sudah menjadi trend budaya masyarakat kini. Mereka yang dipisahkan disebelah kiri adalah mereka yang tidak memberi makan yang lapar, maksudnya adalah: kemalasan di dalam menolong orang lain.
Kemudian, mereka juga dikatakan: tidak memberi tumpangan (ayat 43). Menerima orang yang tidak dikenal sebagai tamu adalah sungguh hal yang merepotkan apalagi jaman sekarang ini, dengan tingkat kriminalitas yang semakin tinggi. Tetapi jujur saja, menerima tamu yang kita kenalpun juga tidak kalah merepotkan. Ketika kita tahu ada tamu hendak datang, tentunya harus membereskan kamar dan rumah. Lalu, kita perlu mempersiapkan sajian makanan ataupun minuman. Belum lagi jika tamu tersebut datang pada malam hari, tentunya kita juga akan menawarkan tumpangan—yang sudah pasti persiapan akan ranjang, bantal, dan selimutnya. Hal-hal tersebut sungguh merepotkan dan membebani.
Rasa terbeban sesungguhnya muncul dari rasa enggan untuk direpotkan. Bahkan kenyamanan pribadi kita menjadi terganggu dan terkorbankan oleh karena situasi yang sebenarnya diakibatkan oleh orang lain. Kembali lagi, rasa malas untuk menolong orang lain yang membutuhkan.
Di lain sisi, mereka yang dipisahkan disebelah kanan adalah mereka yang memberi makan yang lapar serta memberikan tumpangan. Saya jadi teringat kepada beberapa saudara-saudari seiman yang dengan kasih dan sukarela menerima simpatisan yang datang dari jauh untuk menginap di rumah mereka, agar keesokan harinya dapat bersama-sama pergi berkebaktian di gereja.
“Mereka yang disebelah kanan” mengumpamakan orang-orang yang di dalam kesibukannya masing-masing, masih mau untuk mengorbankan waktunya demi mengasihi orang lain. Seperti halnya saudara-saudari seiman yang meluangkan waktu mereka untuk menjenguk teman ataupun simpatisan yang sedang dirawat di rumah sakit. Mungkin kalau kita, barangkali akan menimbang-nimbang terlebih dahulu, jangan-jangan penyakitnya bisa menular, ataupun merasa terbeban karena jarak rumah sakitnya cukup jauh serta alasan lainnya.
Jika kita masih menomor-satukan kenyamanan pribadi serta privasi yang kita miliki, enggan untuk mengorbankan waktu dan tenaga pribadi, apalagi harus bersusah-susahan terhadap masalah orang lain; niscaya kita tidak akan mungkin untuk mengasihi orang lain.
Hanya mereka yang rajin secara rohani barulah dapat mengasihi orang lain. Kemalasan rohani akan membuat kita tidak peduli dan mengabaikan kasih. Surat Yakobus telah menasehatkan, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak. 4:17). Sama halnya, ketika kita sebenarnya mampu untuk mengunjungi yang sakit, memberi makan orang yang lapar secara rohani, namun kita menolak untuk melakukannya karena enggan mengorbankan kenyamanan pribadi ataupun terlibat dalam penderitaan orang lain, sesungguhnya kita sudah berdosa di mata Tuhan.