SAUH BAGI JIWA
“Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku“
(Markus 7:6)
“Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku“
(Markus 7:6)
Frase “lain di bibir, lain di hati” adalah sebuah peribahasa yang sering digunakan secara umum untuk menggambarkan kekecewaan seseorang terhadap orang lain yang mengingkari perkataannya.
Meskipun kita mungkin tidak menyadarinya, kita kerap melakukan “lain di bibir, lain di hati” dalam kehidupan kerohanian kita. Dengan kata lain, apa yang kita ucapkan atau lakukan hanya sebatas formalitas belaka saja–sebatas apa yang orang lain dapat lihat dan nilai. Namun, tindakan perilaku yang kita lakukan, belum tentu sesuai dengan apa yang ada di dalam hati kita.
Seringkali, dalam kehidupan rohani, kita berkata kepada Tuhan “aku mengasihi-Mu, Tuhan,” tetapi pada kenyataannya, kita tanpa sadar melakukan perbuatan yang mendukakan Roh Kudus dan mengecewakan hati Tuhan. Cinta kasih yang kita ucapkan kepada Tuhan tidak sesuai dengan perbuatan yang kita lakukan.
Kalimat “aku mengasihi-Mu Tuhan” yang kita ekspresikan sebatas ucapan bibir saja dapat datang dalam berbagai bentuk. Ketika kebiasaan ibadah kita dalam menyembah Tuhan berubah menjadi sekadar formalitas belaka; saat itulah kita kehilangan makna dan tujuan dibalik kegiatan ibadah yang kita lakukan.
Orang-orang Farisi dan jemaat mula-mula juga pernah melakukan fenomena yang serupa, seperti halnya memuliakan Tuhan hanya dengan bibir mereka (Mat 15:8), memberikan persembahan tanpa rasa hormat (Mal 1:6-14), berdoa tetapi memandang rendah orang lain (Luk 18:9-14) dan melakukan banyak pekerjaan Tuhan tetapi tidak memiliki kasih (1 Kor 13:1-3).
Oleh karena itu, marilah kita mengevaluasi diri kita masing-masing alasan dari perbuatan-perbuatan kristiani yang kita lakukan. Mengapa kita berdoa dalam nama Tuhan Yesus? Mengapa kita berlutut dalam doa-doa kita? Dan mengapa kita bahkan peduli untuk berdoa?
Tujuan dari perenungan-perenungan itu adalah untuk mempertanyakan dan menemukan kembali “percikan api awal yang menyala” ketika kita pertama kali percaya kepada Tuhan. Dengan demikian, wujud kasih yang kita ucapkan melalui bibir dapat sejalan dengan apa yang ada di dalam kesungguhan hati kita–yang kemudian kita wujudkan dalam perbuatan nyata.
Mengapa kita menyanyikan lagu pujian di saat ibadah? Mengapa kita terlibat dalam pelayanan? Mengapa kita menghadiri berbagai pelatihan yang diadakan oleh gereja? Dan, mengapa pula berpuasa harus disertakan dengan doa?
Kejujuran atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas seharusnya menjadi peringatan tersendiri bagi kita akan pernyataan Tuhan Yesus terhadap seseorang yang memuliakan Tuhan sebatas bibir saja, sedangkan hatinya jauh dari pada-Nya.
Marilah kita ingatkan diri kita akan sukacita sejati di dalam menyembah Tuhan dengan hati dan dengan bibir–keduanya sepadan. Dengan demikian, kita dapat sungguh-sungguh merasakan pengalaman dalam menyembah Tuhan di dalam Roh dan di dalam kebenaran-Nya.