SAUH BAGI JIWA
“Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?“
(Lukas 9:54)
“Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?“
(Lukas 9:54)
Penulis Injil Markus pernah mencatatkan bahwa Yakobus dan Yohanes, yang dikenal sebagai “anak-anak guruh (sons of thunder),” ingin menyuruh api untuk turun dari langit, membinasakan mereka yang tidak menerima Tuhan–yang mengutus mereka berdua ke desa orang Samaria (Mrk 3:17; Luk 9:52-54).
Injil Lukas menjelaskan lebih rinci, bagaimana awalnya Tuhan Yesus menyuruh beberapa murid sebagai utusan mendahului Dia masuk ke desa orang Samaria; dengan tujuan untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi-Nya.
Ketika Yakobus dan Yohanes mengetahui bahwa orang-orang Samaria itu tidak mau menerima Tuhan Yesus, emosi mereka terpancing. Saat itu juga keduanya meminta izin dari Yesus untuk menurunkan api dari langit, agar keduanya diperbolehkan membinasakan orang-orang Samaria itu.
Pengajaran apakah yang dapat kita ambil dari perkataan kedua anak guruh kepada Tuhan Yesus? Alih-alih diberi izin, Tuhan Yesus bahkan menegur keduanya. Kalau kita menggunakan terjemahan Alkitab bahasa Inggris, maka teguran keras Tuhan Yesus secara harfiah berbunyi seperti berikut, “Kamu tidak memahami, dari roh semacam apa kamu berasal!” Nada teguran Yesus ini serupa dengan nada teguran-Nya kepada Petrus dalam Injil Markus, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Mrk 8:33).
Ketika kita merasa benar dan orang lain yang salah, saat itulah kita merasa “di atas angin,” seakan-akan memiliki hak untuk dapat melampiaskan luapan kemarahan kita kepada orang yang bersalah oleh karena kebenaran kita. Orang yang bebal, keras hatinya ataupun sombong, belum tentu dapat menerima luapan emosi kita.
Sebagai contoh, dalam sebuah perdebatan diskusi, karena merasa bahwa argumen yang kita miliki jauh lebih kuat dan terbukti, kita bisa saja mengutarakan pendapat sambil menyerang pendapat lain agar perdebatan sengit selesai. Meskipun perdebatan berhenti, pihak-pihak yang memiliki pandangan berbeda mungkin berbalik merasa sakit hati dan menyimpan dendam.
Penulis surat Yakobus pernah mengingatkan kita, “Sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (Yak 1:20). Dengan kata lain, luapan emosi kita sesungguhnya hanyalah cerminan dari keegoisan kita untuk mempertahankan kebenaran diri kita sendiri, bukan kebenaran Tuhan. Oleh karena itu, janganlah berpikir bahwa kita dapat mengubah seseorang melalui amarah kita. Hanya dengan kerendahan hati dan teguran dalam kasih, barulah kita memiliki peluang setahap demi setahap untuk menyadarkan seseorang dari kesalahannya.