SAUH BAGI JIWA
“Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus”
(Matius 27:32)
Bacaan: Matius 27:26-34
“Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus”
(Matius 27:32)
Bacaan: Matius 27:26-34
Setiap orang memiliki kehendak bebas atas dirinya. Kebebasan berbicara, berperilaku, berpikir, memutuskan serta kebebasan-kebebasan lainnya. Kehendak bebas adalah sebuah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tetapi kehendak bebas perlu diberikan sebuah batasan agar tercipta keharmonisan di dalam kehidupan masyarakat. Itulah mengapa perlu ada norma, nilai dan peraturan yang jelas untuk membatasi kebebasan sehingga kehendak bebas itu masih berada dalam koridor yang seharusnya.
Namun adanya kehendak bebas membuat manusia tidak menyukai pembatasan yang berlebihan atau pengekangan. Tidak ada manusia yang mau dipaksa untuk melakukan sesuatu. Terlebih lagi jika pemaksaan itu tidak mendatangkan keuntungan apapun bagi dirinya, bahkan menyebabkan kerugian.
Hal inilah yang terjadi pada seorang tokoh di Alkitab bernama Simon dari Kirene. Di dalam kitab Matius 27:32 dituliskan, “Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.” Simon tidak memiliki hubungan apa-apa dengan hukuman salib yang sedang dijalani oleh Yesus, tetapi ia dipaksa untuk memikul salib Yesus. Tidak ada keuntungan apa-apa yang bisa diperoleh Simon dari Kirene. Sebaliknya, ia mendapatkan kerugian karena harus memikul salib orang lain.
Tetapi jika peristiwa ini dilihat lebih dalam, kita akan menyadari bahwa salib yang dipaksakan kepada Simon dari Kirene untuk dipikul pada saat itu justru menjadi berkat baginya. “Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.” (Mrk 15:21). Dari awalnya merupakan seseorang yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Tuhan Yesus, ia menjadi orang yang namanya tercatat dalam Kitab Injil. Selain itu, nama anak-anaknya pun dicatatkan oleh penulis Injil. Mengapa demikian? Informasi sebagai “ayah Aleksander dan Rufus” memberikan penjelasan tambahan sehingga jemaat mengetahui siapakah Simon Kirene yang dimaksud. Selain itu, penulisan “Aleksander dan Rufus” yang dicatat tanpa penjelasan lebih lanjut secara tidak langsung memberitahukan kepada pembaca bahwa kedua orang tersebut sesungguhnya sudah dikenal di kalangan jemaat. Dari seorang yang tidak tahu apa-apa menjadi orang yang dikenal oleh jemaat dan para pembaca Injil.
Adakalanya kita harus menghadapi keadaan terdesak dan terpaksa melakukan hal yang sebenarnya tidak ingin kita lakukan. Hal itu sepertinya merugikan kita. Marilah kita merenungkannya. Apakah keterpaksaan dalam melakukan sesuatu itu berhubungan dengan iman kerohanian kita? Apakah hal itu berhubungan dengan menjalankan firman Tuhan dalam hidup kita?
Jika ya, kiranya kita bersabar dan menantikan rancangan indah yang direncanakan Tuhan bagi kita. Seperti Simon dari Kirene yang dipaksa memikul salib Yesus, paksaan itu justru membawa dirinya untuk mengenal Yesus dan jalan keselamatan-Nya.
SAUH BAGI JIWA
“Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus”
(Matius 27:32)
Bacaan: Matius 27:26-34
“Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus”
(Matius 27:32)
Bacaan: Matius 27:26-34
Setiap orang memiliki kehendak bebas atas dirinya. Kebebasan berbicara, berperilaku, berpikir, memutuskan serta kebebasan-kebebasan lainnya. Kehendak bebas adalah sebuah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tetapi kehendak bebas perlu diberikan sebuah batasan agar tercipta keharmonisan di dalam kehidupan masyarakat. Itulah mengapa perlu ada norma, nilai dan peraturan yang jelas untuk membatasi kebebasan sehingga kehendak bebas itu masih berada dalam koridor yang seharusnya.
Namun adanya kehendak bebas membuat manusia tidak menyukai pembatasan yang berlebihan atau pengekangan. Tidak ada manusia yang mau dipaksa untuk melakukan sesuatu. Terlebih lagi jika pemaksaan itu tidak mendatangkan keuntungan apapun bagi dirinya, bahkan menyebabkan kerugian.
Hal inilah yang terjadi pada seorang tokoh di Alkitab bernama Simon dari Kirene. Di dalam kitab Matius 27:32 dituliskan, “Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.” Simon tidak memiliki hubungan apa-apa dengan hukuman salib yang sedang dijalani oleh Yesus, tetapi ia dipaksa untuk memikul salib Yesus. Tidak ada keuntungan apa-apa yang bisa diperoleh Simon dari Kirene. Sebaliknya, ia mendapatkan kerugian karena harus memikul salib orang lain.
Tetapi jika peristiwa ini dilihat lebih dalam, kita akan menyadari bahwa salib yang dipaksakan kepada Simon dari Kirene untuk dipikul pada saat itu justru menjadi berkat baginya. “Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.” (Mrk 15:21). Dari awalnya merupakan seseorang yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Tuhan Yesus, ia menjadi orang yang namanya tercatat dalam Kitab Injil. Selain itu, nama anak-anaknya pun dicatatkan oleh penulis Injil. Mengapa demikian? Informasi sebagai “ayah Aleksander dan Rufus” memberikan penjelasan tambahan sehingga jemaat mengetahui siapakah Simon Kirene yang dimaksud. Selain itu, penulisan “Aleksander dan Rufus” yang dicatat tanpa penjelasan lebih lanjut secara tidak langsung memberitahukan kepada pembaca bahwa kedua orang tersebut sesungguhnya sudah dikenal di kalangan jemaat. Dari seorang yang tidak tahu apa-apa menjadi orang yang dikenal oleh jemaat dan para pembaca Injil.
Adakalanya kita harus menghadapi keadaan terdesak dan terpaksa melakukan hal yang sebenarnya tidak ingin kita lakukan. Hal itu sepertinya merugikan kita. Marilah kita merenungkannya. Apakah keterpaksaan dalam melakukan sesuatu itu berhubungan dengan iman kerohanian kita? Apakah hal itu berhubungan dengan menjalankan firman Tuhan dalam hidup kita?
Jika ya, kiranya kita bersabar dan menantikan rancangan indah yang direncanakan Tuhan bagi kita. Seperti Simon dari Kirene yang dipaksa memikul salib Yesus, paksaan itu justru membawa dirinya untuk mengenal Yesus dan jalan keselamatan-Nya.