SAUH BAGI JIWA
“Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya…“
“Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya…“
Apakah itu kesuksesan? Masyarakat secara umum biasanya menilai kesuksesan dari harta, jabatan dan gaya hidup. Dalam media sosial pun, kesuksesan itu sering diidentikkan dengan kepemilikan akan barang mewah dan gaya hidup yang glamor.
Definisi sukses yang demikian, tanpa sadar dapat menyusup ke dalam nilai-nilai kekristenan; terutama pandangan yang menekankan bahwa sebagai anak Tuhan, Tuhan pasti akan memberkati sehingga mengalami kesuksesan kehidupan jasmani. Namun, pemikiran tersebut justru menyesatkan–sehingga saat seseorang mengalami kerugian, sakit-penyakit, memiliki gaya hidup sederhana bahkan berkekurangan; dianggap bahwa Tuhan tidak memberkatinya.
Seorang rekan kerja pernah terjerumus akibat pandangan demikian. Ia merasa bahwa sebagai anak Tuhan, ia wajib mendapat berkat jasmani. Begitu ia menerima gaji, ia langsung mengganti handphone baru. Tidak lama kemudian, ia memutuskan untuk mengganti motor baru. Baru selang beberapa waktu, ia membeli sebuah mobil baru–hanya untuk menunjukkan bahwa Tuhan selalu memberikan berkat-berkat jasmani kepada anak-anak-Nya.
Suatu ketika, di perusahaan tempat ia bekerja, sedang dilakukan pemeriksaan keuangan secara intens. Ternyata kedapatan bahwa selama ini, ia melakukan korupsi agar ia dapat menikmati kemewahan gaya hidup yang ia jalani. Sungguhkah ia telah memiliki kehidupan yang sukses, yang diberkati?
Saat kita membaca kehidupan Lazarus, seorang yang miskin, penulis Injil Lukas mencatatkan bahwa ia adalah seorang pengemis dengan kondisi tubuh yang penuh dengan borok. Ia adalah seorang yang sangat berkekurangan. Untuk menghilangkan rasa laparnya, ia hanya mengandalkan dengan apa yang jatuh dari meja si orang kaya–orang yang dekat pintu rumahnya Lazarus berbaring; apalagi boroknya, ia sama sekali tidak mampu untuk membeli obat.
Melihat kondisinya yang penuh dengan kemiskinan, kekurangan, kelaparan, dipenuhi dengan sakit-penyakit–tidak ada orang yang akan berkata bahwa Lazarus adalah seorang yang sukses. Tetapi bagaimana penulis Injil Lukas memandang Lazarus? Dikatakan bahwa setelah Lazarus meninggal, ia dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham dan mendapat penghiburan (Luk 16:22, 25). Dengan kata lain, Lazarus mendapatkan kesuksesan rohani.
Jadi, bagaimana Firman Tuhan memandang kesuksesan? Penulis Injil Lukas pernah menegaskan perkataan Tuhan Yesus, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (Luk 12:15). “Hidup” yang dimaksudkan di ayat tersebut bukanlah semata-mata hidup jasmani. Dalam Lukas pasal 12, Tuhan Yesus dengan jelas menekankan tentang pentingnya hidup rohani. Ia menegaskan kepada orang banyak untuk takut kepada Tuhan, yang mempunyai kuasa untuk melemparkan orang ke dalam neraka. Selain itu, Yesus juga memberitahukan akan pentingnya mengumpulkan harta di surga.
Berbanding terbalik dengan kisah seorang rekan kerja di atas, Lazarus tidak dapat menggantungkan hidupnya pada harta ataupun jabatan–ia seorang yang miskin. Tetapi di dalam kemiskinannya dan kemalangannya, ia justru memegang teguh pada imannya–pada kesaksian Musa dan para nabi–suatu hal yang diminta oleh si kaya kepada Abraham agar saudara-saudaranya yang masih hidup juga dapat percaya, bertobat dan diselamatkan seperti Lazarus yang berada di pangkuan Abraham. Itulah kesuksesan di hadapan Tuhan.
Hari ini, kisah perjuangan iman Lazarus mengajarkan kepada kita akan pentingnya memahami arti kesuksesan di hadapan Tuhan. Seringkali, tanpa sadar, saat kita membanding-bandingkan pencapaian karier kita, kepemilikan harta benda kita ataupun gaya hidup yang sedang kita jalani terhadap teman-teman dan rekan kerja yang sudah jauh lebih mapan dan berada; kita justru merasa rendah diri dan gagal. Namun, kisah Lazarus dan pengajaran Tuhan Yesus justru mengingatkan kita bahwa hidup bukan tergantung dari seberapa banyak kepemilikan harta benda atau seberapa tinggi karier yang mampu kita capai; melainkan dari seberapa teguh kita berpegang pada iman–kesaksian Musa, para nabi, pengajaran Tuhan Yesus, murid-murid dan para rasul–dan seberapa giat kita mengumpulkan harta yang kekal di surga. Kiranya kasih karunia Tuhan senantiasa membimbing kita untuk dapat menjadi sukses secara rohani di hadapan-Nya.