SAUH BAGI JIWA
Entah mengapa, ibu sering sekali membeli bumbu keperluan dapur di salah satu lapak dalam sebuah pasar tradisional. Padahal, harga-harga barang di lapak tersebut tidak jauh berbeda dengan lapak lainnya. Mungkin karena si penjual ramah, sering menanyakan kabar para pelanggannya, tidak “memaksa-maksa” untuk membeli dagangannya dan orangnya tidak hitung-hitungan. Dengan kata lain, si penjual rutin membina kedekatan hubungannya dengan para pembelinya. Itulah sebabnya, ibu menjadi salah satu pelanggan tetap yang sering mampir di lapak tersebut.
Dalam pasal yang ke-18, di saat penulis Injil Yohanes mencatatkan tentang sebuah taman yang terletak di seberang sungai Kidron, sang penulis juga menekankan bahwa “Yesus sering berkumpul di situ dengan murid-murid-Nya.”
Tentunya kata “sering” dalam ayat tersebut digunakan untuk menjelaskan perbuatan “berkumpul”—yang dalam Perjanjian Baru sering digunakan untuk merujuk pada persekutuan yang dilakukan oleh para murid dan juga para rasul bersama dengan jemaat.
Lalu, mengapa begitu penting untuk dicatatkan bahwa perkumpulan atau persekutuan antara Tuhan Yesus dengan murid-murid dilakukan secara sering dan berulang kali?
Pertama, penggunaan kata “sering” memiliki nuansa “mempertajam” atau “memperdalam,” seperti halnya saat penulis Kitab Ulangan 6:7 menegaskan bagaimana bangsa Israel harus mengajarkan ketetapan Tuhan secara berulang kali kepada anak-anak mereka dengan maksud untuk mempertajam pemahaman mereka akan Firman-Nya.
Kedua, penggunaan kata “sering” memiliki nuansa “mempererat keakraban,” seperti dalam contoh yang dituliskan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada Timotius tentang keluarga Onesiforus yang telah berulang-ulang menyegarkan hatinya dan bagaimana ia tidak malu menjumpai Paulus di dalam penjara (2Tim 1:16). Dengan kata lain, atas dasar keinginannya untuk menyegarkan dan menghibur Paulus yang sedang menderita, Onesiforus rela untuk mengabaikan rasa malunya untuk datang menjumpai Paulus lagi dan lagi di dalam penjara.
Dari kedua penggunaan kata “sering,” kita dapat memahami bahwa perkumpulan atau persekutuan dilakukan secara berulangkali—selain untuk membina komunikasi yang lebih mendalam, juga dilakukan untuk lebih mengakrabkan hubungan.
Kadangkala, ada yang mengatakan bahwa pertumbuhan rohani cukup dilakukan secara mandiri tanpa memerlukan persekutuan. Namun, penulis Injil Yohanes menegaskan bahwa Tuhan Yesus saja sering berkumpul dengan murid-murid untuk bersekutu.
Pengarang lagu kidung “Yesus Sahabatku”dalam liriknya menuliskan, “Yesuslah sahabatku yang paling setia…tak ‘kan tinggalkanku!” Tentu sebagai sahabat dekat diperlukan hubungan yang akrab, pertemuan secara rutin, kedekatan dan komunikasi yang sering dan mendalam. Jika seseorang hampir tidak pernah berkomunikasi bahkan sangat jarang bertemu satu dengan yang lain, bagaimana mungkin ia dapat dikatakan sebagai sahabat dekat?
Sungguh, keakraban suatu hubungan sangat bergantung dari frekuensi interaksi antara kedua belah pihak. Dengan kata lain, kedekatan suatu hubungan dibangun dari seringnya pertemuan yang diadakan dan komunikasi yang dilakukan.
Demikian pula halnya, kedekatan hubungan kita dengan Tuhan bukan terbentuk secara instan; melainkan melalui proses berjalannya waktu dan seberapa sering kita bersekutu dengan-Nya. Tuhan Yesus memberikan contoh bahwa Ia sendiri sering, berulangkali berkumpul bersama murid-murid.
Hari inipun, Tuhan begitu rindu untuk membangun hubungan kedekatan bersama kita. Jika kita menganggap-Nya sebagai yang Terbesar dalam hati kita, sudahkah kita mendekatkan diri pada-Nya melalui komunikasi dan persekutuan yang rutin? Kiranya Tuhan Yesus senantiasa membimbing kita.