SAUH BAGI JIWA
Pikirkanlah berbagai gejolak kehidupan yang mungkin dapat membuat kita merasa telanjang secara emosi. Kehilangan pekerjaan misalnya, adalah suatu keadaan yang dapat melucuti harga diri kita. Dalam menghadapi berbagai kekecewaan, yang besar maupun yang kecil, pasangan kita mungkin akan mulai memperlihatkan dirinya sebagai suatu sosok baru yang tidak menyenangkan.
Kelemahan dan kekurangannya yang dulu tak nampak, kini telah terlihat. Ketika situasi-situasi seperti ini muncul, dapatkah kita menceritakan rasa sakit kita yang paling dalam dan kekuatiran kita yang paling besar kepada pasangan kita? Mampukah kita menunjukkan emosi yang paling pribadi dan titik lemah dalam diri kita kepada orang yang kita cintai? Sebaliknya, dapatkah kita menerima dengan sabar dan mendukung tanpa syarat, ketika pasangan kita mencurahkan isi hatinya kepada kita, bahkan di saat suasana hati kita sedang tidak baik untuk mendengarkan? Bila kita mampu melakukan hal-hal tersebut, maka barulah kita dapat dikatakan telanjang secara emosi dan tidak merasa malu kepada pasangan kita. Tetapi karena satu dan berbagai alasan, kita sering tidak dapat melakukannya.
Tidak hanya perubahan-perubahan dari luar saja yang dapat mengguncangkan keharmonisan dalam sebuah pernikahan atau melucuti harga diri kita, dan membuat kita merasa telanjang. Sebenarnya, masing-masing pihak membawa banyak pandangan dan cara melakukan sesuatu yang berbeda ke dalam pernikahan, dan perbedaan-perbedaan ini seringkali dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan mereka.
Tetapi bukankah benar bahwa setiap pasangan suami istri, bahkan yang paling serasi sekalipun, memiliki perbedaan satu sama lain? Bagaimana mungkin dua orang yang tumbuh dalam keluarga yang berbeda dengan norma-norma yang berbeda dapat hidup tanpa perbedaan sama sekali? Mulai dari selera akan perabot yang berbeda sampai kepada kebiasaan hidup dan gaya komunikasi yang bertolak belakang, telah memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dielakkan.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat mengatasi perbedaan-perbedaan itu dengan pasangan kita. Kadang kita menangani masalah ini dengan menghindarinya. Kita bersembunyi di balik dinding pelindung agar tidak perlu berhadapan langsung dan berurusan dengan ketidakcocokan yang ada di antara kita. Mungkin kita merasa malu dan takut untuk membuka ketelanjangan emosi kita, karena kita tidak percaya bahwa pasangan kita dapat memahami sudut pandang kita. Atau mungkin juga dari pengalaman-pengalaman pahit kita, kita sudah memperkirakan bahwa hal itu hanya akan berakhir pada pertengkaran dan sakit hati. Namun, komunikasi yang terbuka “tanpa rasa malu” dan komitmen untuk saling mendengarkan tanpa menghakimi antara pasangan sesungguhnya dapat saling membantu pasangan untuk bersama-sama mengatasi tantangan dalam kehidupan pernikahan.