SAUH BAGI JIWA
Kita sudah cukup sering mendengar perkataan, “Uang bukan segalanya, namun tanpa uang kita tidak dapat membeli apa pun.” Perkataan ini memang mengandung unsur kebenaran di dalamnya. Kehidupan kita sebenarnya tidak lepas dari uang. Karena hal ini, banyak yang berpendapat bahwa tanpa uang, kita tidak dapat melakukan apa-apa; sehingga banyak pula yang akhirnya berkesimpulan bahwa tanpa uang, kita tidak dapat melanjutkan kehidupan kita.
Uang, baik secara fisik maupun ekonomi, adalah suatu sarana yang digunakan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kepemilikan akan uang justru sangat menentukan kebutuhan apa saja dari diri manusia itu yang dapat dipenuhi. Dengan uang, kita dapat memenuhi kebutuhan pokok kita, seperti halnya kebutuhan akan pakaian, makanan dan tempat tinggal. Dengan uang pula, kita dapat meneruskan untuk memenuhi kebutuhan tambahan lainnya, seperti halnya hiburan.
Karena kebutuhan akan uang, terutama di dalam perkembangan zaman yang semakin menuntut ini, banyak orang bekerja tanpa henti untuk mendapatkan uang. Di dalam kehidupan mereka, sadar atau pun tidak, uang sudah menjadi prioritas utama. Bahkan, banyak di antara mereka yang merasa bahwa uang yang didapat terasa tidak pernah cukup, padahal kebutuhan pokok mereka sudah jauh terpenuhi. Tidak heran jika akhirnya banyak orang yang berlomba-lomba untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, bukan atas dasar untuk memenuhi kebutuhan pokok, melainkan atas dasar untuk kepuasan semata-mata—khususnya, kepuasan akan uang.
Sang Pengkhotbah di dalam tulisannya mengingatkan kita bahwa “siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya” (Pkh 5:9b). Di sinilah, sang Pengkhotbah menyingkapkan sifat manusia yang seringkali sulit merasa puas, khususnya akan kekayaan. Di dalam perlombaannya untuk mengumpulkan kekayaan, manusia seringkali terjebak dalam “pasir hisap,” semakin banyak kita mengumpulkan, semakin kita merasa kekurangan. Meskipun kebutuhan pokok sudah tercukupi, timbul keinginan untuk memenuhi kebutuhan lainnya lagi dan yang lebih banyak. Semakin mengumpulkan, semakin terasa bahwa kebutuhan akan uang terus bertambah dan bertambah—serasa seperti tidak akan pernah tercukupi.
Suatu kali Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang orang kaya yang hanya memusatkan perhatiannya untuk menimbun seluruh kekayaannya selama bertahun-tahun (Luk 12:16-20). Tetapi firman Tuhan menyebutkan bahwa orang kaya ini adalah orang yang bodoh; bukan karena usaha dan rencananya untuk menyimpan kekayaannya, melainkan karena ia lalai untuk membedakan antara kekayaan, kebutuhan dan kepuasannya akan uang yang dimiliki; maupun lalai untuk memahamipentingnya kekayaan rohani di hadapan Tuhan.
Tuhan Yesus telah memberikan kepada kita pengajaran yang sangat berharga, yaitu bahwa hidup ini lebih penting daripada makanan dan tubuh ini lebih penting daripada pakaian (Luk 12:23). Dengan kata lain, Tuhan Yesus ingin agar kita mengerti bahwa nilai dari hidup dan tubuh kita ini jauh melebihi dari nilai materi yang ada di dunia, termasuk pula halnya dengan uang ataupun kekayaan. Inilah perbandingan yang Tuhan ingin kita pegang di dalam kehidupan kita–yaitu agar kita tidak terlena, hanya berpusat pada pengumpulan harta jasmani; melainkan dengan taat, takut dan hormat mengejar kekayaan rohani di hadapan Tuhan. Kiranya Roh Kudus-Nya senantiasa membimbing kita. Amin.