SAUH BAGI JIWA
“Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu“
“Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu“
Ketika kita kecil, mungkin kita pernah mendengar istilah ‘orang seberang.’ Istilah ini biasanya dipakai untuk menggambarkan orang yang baru datang dari pulau lain. Begitu pula dengan tokoh Alkitab yang bernama Abraham. Dia adalah seorang Ibrani. Orang Ibrani hidupnya mengembara sebagai pendatang di negeri asing. Awalnya, Abraham tinggal di Ur-Kasdim, wilayah Mesopotamia di seberang sungai Efrat. Lalu, Tuhan memanggil Abraham keluar dari Ur-Kasdim untuk pergi dan menetap di tanah Kanaan.
Namun, dalam perjalanan kehidupan imannya, seringkali Abraham harus berpisah dengan hal-hal yang erat kaitannya dengan kehidupan pribadinya. Mengapa demikian dan apa pengajarannya bagi kehidupan kita sekarang ini?
Pertama, Abraham dipisahkan dari kampung halaman, dari ayahnya dan sanak saudaranya (Kej 12:1; Kis 7:2-4). Allah berfirman kepadanya dan menyuruhnya untuk keluar dari negerinya dan untuk pergi ke negeri yang akan Tuhan tunjukkan kepadanya. Alkitab menegaskan, dalam ketaatannya, Abraham memilih untuk berpisah dari sanak saudara dan kampung halamannya untuk keluar dari negeri orang Kasdim dan menjadi pendatang di negeri asing demi menggenapi rencana Allah.
Tidak sampai di situ, Abraham juga dipisahkan dari Lot, keponakannya. Karena negeri tempat tinggal mereka tidak cukup luas bagi mereka untuk tinggal bersama, akhirnya Abraham dan Lot berpisah (Kej 13:5-11). Sesungguhnya Lot adalah orang yang egois, dia memilih tempat yang menguntungkan hanya bagi dirinya. Dia merupakan gambaran orang duniawi. Sebagai seseorang yang telah merawat Lot, sudah seharusnya Abraham berhak untuk memilih terlebih dahulu tanah yang baik untuk ternaknya. Namun, Alkitab justru mencatatkan bahwa Abraham lebih memilih untuk mengalah, berdamai serta beriman pada Allah. Demi imannya pada janji pemeliharaan Allah, akhirnya Abraham terpisah dari Lot.
Setelah itu, Abraham juga dipisahkan dari anak kesayangannya, Ishak. Melalui cara ini, Allah ingin menguji iman Abraham. Mengapa demikian? Sebab Allah ingin menguji ketaatan Abraham dan apakah ia sungguh mengasihi-Nya lebih dari segalanya. Ujian tersebut sesungguhnya mengajarkan Abraham untuk rela dipisahkan dari apa yang Allah sudah berikan–kerelaan hati untuk mengembalikan apa yang sudah Allah titipkan kepadanya. Kepatuhan Abraham pada firman Tuhan sungguh menunjukkan kesediaan dan kerelaan hatinya untuk dipisahkan–bahkan dari buah hatinya sendiri.
Sekilas kehidupan Abraham sebagai orang yang dipanggil keluar oleh Allah dari kampung halaman dan sanak saudaranya untuk mengikuti apa yang Allah akan janjikan, terlihat begitu ironis. Namun, ternyata hal demi hal yang membuat Abraham terpisah, justru perlahan mulai membentuknya dan mengajarkannya tentang arti dari menaati dan mempercayai panggilan Allah pada dirinya.
Sama seperti Abraham, pada hari ini, terkadang kita “dipisahkan” dari segala kenyamanan yang ada, agar kita dapat belajar tentang arti dari pemeliharaan Allah atas kekurangan yang kita hadapi. Kadang kita “dipisahkan” dari segala kemudahan yang ada, agar kita dapat belajar untuk menjadi pribadi yang kuat, memilih untuk mengalah bahkan berdamai dengan diri sendiri serta bersandar pada kekuatan dari Allah.
Tuhan tentunya mempunyai alasan-alasan yang baik di balik setiap rencana-Nya. Sebagai orang yang telah dipanggil dan dipisahkan dari dunia untuk menjadi umat-Nya yang kudus, marilah kita senantiasa mempersiapkan hati dan diri kita–agar saat kita “terpisah” dari zona nyaman ataupun kemudahan, kita tidak menjadi lemah hati dan terjatuh melainkan tetap teguh untuk menghadapinya dengan kasih karunia Allah atas diri kita.