SAUH BAGI JIWA
“Janganlah kamu berbuat seperti yang diperbuat orang di tanah Mesir, di mana kamu diam dahulu; juga janganlah kamu berbuat seperti yang diperbuat orang di tanah Kanaan, ke mana Aku membawa kamu; janganlah kamu hidup menurut kebiasaan mereka“
“Janganlah kamu berbuat seperti yang diperbuat orang di tanah Mesir, di mana kamu diam dahulu; juga janganlah kamu berbuat seperti yang diperbuat orang di tanah Kanaan, ke mana Aku membawa kamu; janganlah kamu hidup menurut kebiasaan mereka“
Seorang pendatang tiba di negeri asing untuk mencari pekerjaan. Meskipun ia merasa tidak betah dengan bahasa maupun budaya asing itu, ia bersikeras untuk menetap mencari nafkah. Beberapa puluh tahun kemudian, bukan hanya ia sudah mahir menggunakan bahasa negeri asing tersebut, ia bahkan mencintai budaya, makanan dan masyarakat negeri asing itu. Dengan demikian, ia menjadi serupa dan sama dengan penduduk negeri yang awalnya ia anggap asing.
Berbeda halnya dengan Abraham. Alkitab mencatatkan bahwa Abraham keluar dari kampung halamannya dan menetap di suatu negeri asing. Alih-alih tinggal menetap di kota dan berbaur dengan masyarakat setempat, Abraham memutuskan untuk tinggal di kemah. Bahkan ia tetap menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar–yang direncanakan dan dibangun oleh Allah (Ibr 11:8-10). Meskipun ia tinggal di tanah asing, ia tidak menjadi serupa dengan penduduk negeri itu.
Pada hari ini, sebagai orang Ibrani rohani, kita hanyalah pendatang dan pengembara di dunia ini. Ada kalanya pengembaraan kita selama puluhan tahun, membuat kita lupa dan menjadi takabur; sehingga tidak jarang banyak di antara kita yang akhirnya memutuskan untuk menetap dan menjadi penduduk dunia. Padahal tentang hal itu, rasul Paulus pernah memperingatkan kita melalui suratnya kepada jemaat di Roma, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2).
Dari nasihat rasul Paulus, sesungguhnya terdapat bahaya yang mengintai bagi iman kerohanian kita di saat kita menjadi serupa dengan dunia. Rasul Paulus menegaskan pentingnya bagi kita untuk membedakan apa yang baik dan apa yang berkenan di hadapan Allah. Dengan kata lain, saat kita menjadi serupa dengan dunia; sesungguhnya akan semakin sulit bagi kita untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang berkenan dan apa yang tidak berkenan.
Prinsip nilai-nilai di dunia berbeda dengan prinsip nilai-nilai yang Allah inginkan dari kita. Penulis Kitab Yakobus mengingatkan kita bahwa persahabatan dengan dunia sesungguhnya merupakan permusuhan dengan Allah. Kecurangan, kejahatan, kecemaran, kedengkian–semuanya adalah hal-hal yang biasa yang dilakukan oleh dunia. Saat kita menjadi serupa dengan dunia, tanpa sadar kita turut berkompromi dan “menolerir” prinsip nilai-nilai yang dianut oleh dunia ke dalam diri kita. Padahal hal-hal tersebut justru bertentangan dengan kehendak Allah. Demikianlah, persahabatan dengan dunia menimbulkan permusuhan dengan Allah.
Teladanilah Abraham, yang senantiasa menantikan kota Allah–meskipun ia tinggal di tanah asing. Rasul Paulus mengingatkan kita bahwa, meskipun kita tinggal di dunia, kewarganegaraan kita adalah di dalam sorga dan dari situ kita menantikan Tuhan Yesus sebagai Juruselamat kita (Fil 3:20). Dengan demikian, marilah kita senantiasa melakukan pembaharuan budi di dalam membedakan apa yang baik dan berkenan bagi Tuhan, sehingga kita tidak menjadi serupa dengan dunia–meskipun kita hidup dan tinggal di dalamnya. Kiranya kasih karunia Tuhan beserta dengan kita!