SAUH BAGI JIWA
“…TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya” ( 1 Samuel 1:11)
“…TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya” (
Terkadang saat membaca kisah hidup Hana, saya masih merasa penasaran. Jika saya menjadi Hana, rasanya doa saya akan berhenti pada kalimat, “Berikanlah hamba-Mu ini seorang anak laki-laki.” Cukup sampai di situ. Tentunya, saya rasa saya akan membesarkan dia menurut jalan Tuhan. Tetapi memberikan anak itu kembali kepada Tuhan untuk seumur hidupnya? Rasanya begitu sulit untuk mengucapkan komitmen ini. Mungkinkah Hana terlalu gegabah? Tidak terpikirkah olehnya bahwa ia akan kehilangan begitu banyak waktu kebersamaannya bersama anaknya? Waktu-waktu untuk bersenda-gurau dengan Samuel kecil sambil memanjakannya, waktu-waktu mendengarkan celotehan Samuel kecil sebelum tidur malam dan menina-bobokannya? Seharusnya Hana sadar akan semua hal itu. Namun, mengapa ia begitu “tega” mengucapkan kalimat berikutnya, “aku akan memberikan dia kepada Tuhan”?
Kalau kita membaca doa Hana lebih teliti dalam Kitab
Doa Hana kepada Tuhan mencerminkan pujian dan ucapan syukurnya. Tampaknya agak aneh bahwa setelah sangat menginginkan seorang anak, dia sekarang begitu rela memberikannya kepada Tuhan. Berapa banyak dari kita yang mampu melakukan ini? Mengapa Hana mampu melakukan itu?
Ternyata kuncinya adalah bagaimana Hana dapat menyadari kekurangannya di hadapan Allah dibandingkan dengan ke-mahakuasaan-Nya serta memahami kehendak Allah dalam hidupnya maupun kehidupan bangsanya.
Doa Hana “berikanlah anak laki-laki” sesungguhnya bukan sekadar permintaan pribadi agar ia tidak disakiti lagi hatinya. Melalui ucapan doanya, terlihat jelas bahwa Hana sungguh memahami keterbatasan fisik dirinya untuk melahirkan anak bagi suaminya. Hanya Tuhan-lah yang mampu dan dapat membukakan kandungannya. Dengan kata lain, Hana sepenuhnya paham bahwa –jika Tuhan memberikannya seorang anak, hal itu murni adalah kuasa pemberian-Nya. Anak itu adalah anak yang dititipkan Tuhan pada dirinya. Atas dasar inilah Hana ingin agar anak itu dipakai menjadi alat kemuliaan Tuhan. Dan penulis kitab
Pada hari ini, mungkin banyak dari antara kita yang berdoa hanya untuk memuaskan keinginan egois diri kita sendiri. Itulah mengapa kita tidak menerima apa yang kita minta. Penatua Yakobus pernah mengatakan, “…kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu” (Yak 4:3).
Saat kita berdoa, apakah yang kita minta hanya untuk memuaskan keinginan pribadi kita atau untuk kepentingan banyak orang? Pernahkah kita memikirkan tentang kehendak dan rencana Tuhan atas hidup kita maupun atas hidup dari sesama saudara-saudari seiman kita? Pernahkah kita memikirkan bagaimana kita dan talenta yang telah Tuhan berikan, dapat berperan serta untuk memajukan gereja-Nya? Marilah kita belajar untuk meminta hal-hal yang benar di dalam doa. Kiranya Tuhan senantiasa memimpin kita di dalam memanjatkan doa-doa yang sesuai dengan kehendak-Nya. Amin.