SAUH BAGI JIWA
“Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam. Sela” (Mazmur 4:5)
“Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam. Sela” (Mazmur 4:5)
Saat kita sedang merasa kesal dan marah, secara spontan bisa saja kita “kelepasan” melakukan suatu hal yang menyakiti orang lain baik melalui perkataan ataupun perbuatan.
Rasa marah biasanya muncul saat kita diperhadapkan dengan kekurangan orang lain atau kesalahan yang diperbuat orang lain terhadap diri kita.
Ironisnya, kita justru mencerminkan kelemahan ketika kita memilih untuk menanggapi amarah tersebut dengan kata-kata kasar ataupun kebencian—meskipun perbuatan-perbuatan itu tersembunyi dalam hati dan pikiran kita.
Firman Tuhan pun beberapa kali memperingatkan kita akan dosa yang mengancam dibalik kemarahan.
Amarah dengan alasan yang benar dan tanpa disertai dengan keinginan untuk membalas dendam dan tanpa disertai oleh rasa benci; jika diikuti dengan teguran yang membangun, akan memberi kesempatan pada orang lain untuk berubah dan memperbaiki diri.
Sebaliknya, amarah tanpa alasan yang jelas dan disertai dengan rasa benci dan dendam, tidak akan menciptakan kedamaian; tetapi menciptakan perselisihan, ketidak-nyamanan dan ketidak-berdayaan.
Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma memperingatkan para pembaca bahwa saat kita menghakimi orang lain, sesungguhnya kita sendiri tidak bebas dari salah. Sebab saat menghakimi, kita justru sedang menghakimi diri sendiri sebab kita pun juga melakukan perbuatan-perbuatan serupa (Rom 2:1).
Kerendah-hatian akan mencegah kita agar tidak munafik di dalam menghakimi, serta membantu kita untuk memandang konflik yang ada dengan sudut pandang berbeda tanpa harus diprovokasi dengan luapan amarah.
Setidaknya, ada beberapa petunjuk dalam Alkitab tentang bagaimana kita dapat bersikap di saat kita merasa marah atas suatu situasi yang terjadi.
Pertama, ingatlah bahwa kesalahan yang diperbuat orang lain juga dapat kita perbuat. Dengan kata lain, kelemahan orang lain adalah kelemahan kita juga. Bukan berarti kita tidak boleh menegur kesalahan orang lain, melainkan pertimbangkanlah bahwa diri kita pun tidak terlepas dari kelemahan dan kesalahan yang ingin kita hakimi.
Kedua, ingatlah bahwa luapan amarah yang tidak dibendung dan terus dibiarkan justru akan membawa kita jatuh ke dalam dosa. Ledakan amarah yang tak terbendung cenderung membuat kita melakukan hal-hal yang sesungguhnya akan membuat kita menyesal di kemudian hari.
Sebaliknya, sang Pemazmur mengingatkan kita untuk “tetap diam.” Di saat kita marah, berdoa di dalam hati memohon kekuatan dari Tuhan untuk meredakan luapan emosi kita agar kita terhindar dari dosa adalah hal yang paling tepat dilakukan.
Ketiga, ingatlah bahwa jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah (Ams 15:1). Saat berargumentasi, lakukanlah dengan kepala dingin dan kerendah-hatian. Sebab, lebih banyak kerugian yang akan kita terima ketika kita menjawab dengan provokasi dan perkataan serta perbuatan amarah yang menyakiti orang lain—yang justru semakin memicu pembalasan dan perselisihan yang semakin tajam.
Tentunya, kesemuanya ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, apalagi jika kita tahu bahwa diri kita adalah seorang yang pemarah. Namun, tidak ada hal yang tidak mungkin untuk diperbaiki ketika kita memiliki komitmen dan niat baik untuk mengubah diri kita sendiri dengan bersandar pada Tuhan Yesus sebagai Penolong kita.
“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kol 3:13).